Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko
Apa yang pertama kali terbersit dalam pikiran kita, ketika mendengar kata “kekristenan”? Apakah gedung gereja? Salib? Alkitab? Atau yang lainnya? Untuk menjelaskan tentang inti kekristenan, kita perlu melihat terlebih dahulu melihat apa yang bukan inti kekristenan.
Kekristenan bukan tentang iman warisan. Walaupun kekristenan sangat menekankan pentingnya orang kristen mengajarkan anak-anaknya (Ul 6:6-9, Ef. 6:4), tetapi kekristenan bukan tentang iman yang diwariskan. Kekristenan itu tentang sebuah pilihan. Yosua di akhir hidupnya bertanya kepada orang-orang Israel: “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; … Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15). Kekristenan itu merupakan sebuah pilihan. Paulus berkata kepada kepala penjara di Filipi, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus …” (Kis 16:31). Jadi harus ada tindakan, harus ada pilihan. Iman bukan diwariskan. Jadi inti kekristenan bukan iman yang diwariskan.
Kekristenan bukan tentang pengakuan iman belaka. Kita tahu bahwa pengakuan iman itu penting. Orang Kristen perlu tahu pokok-pokok imannya. Tetapi inti kekristenan juga bukan terletak pada pengakuan iman belaka. Yakobus berkata bahwa Iblis pun mengaku, bahkan gemetar (Yak. 2:19). Tetapi Iblis tidak beribadah kepada Allah. Jadi pengakuan belaka bukanlah inti kekristenan. Mengetahui iman kita itu penting. Tapi jika kita berhenti hanya sampai pengakuan belaka, maka kita belum mengerti apa arti kekristenan yang sebenarnya.
Kekristenan bukan sekadar peraturan-peraturan hidup. Sejarah menunjukkan banyak tokoh Kristen yang menunjukkan perilaku dan etika hidup yang luar biasa baiknya. Banyak orang non-kristen memuji moralitas yang diajarkan oleh Alkitab. Tetapi kekristenan bukan sekadar masalah peraturan hidup, melainkan tentang bagaimana belajar dari Yesus. Dalam Matius 11:28-29, Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat (yaitu mereka yang letih lesu dan berbeban berat oleh karena peraturan-peraturan keagamaan orang Farisi) . . .Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku”. Jadi kekristenan bukan hanya soal menuruti peraturan dan perilaku hidup yang baik.
Kekristenan juga bukan sekadar ritual. Ibadah memegang peranan yang penting bagi orang Kristen. Kita ditumbuhkan melalui ibadah, dan tanggung jawab kita adalah beribadah kepada Tuhan. Ritual penting, tapi kalau hanya terbatas pada ritual maka belum bicara banyak tentang kekristenan. Dalam Matius 15, Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi, karena mereka menggunakan uang yang seharusnya digunakan untuk memelihara orang tua mereka, tapi mereka pergunakan sebagai persembahan di Bait Allah, dan mereka merasa tidak perlu lagi memperhatikan keluarga. Tuhan Yesus menegur mereka, sebagai orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bibir tapi hatinya jauh dari Allah (band. Yes 1, amos 5).
Kalau kekristenan bukan semua itu, lalu kekristenan itu apa? Kekristenan tidak dapat dipisahkan dari Kristus. Dalam kata “kekristenan”, ada “Kristus” Orang Kristen adalah para pengikut Kristus (Kis 11:26). Kekristenan tidak dapat dipisahkan dari Kristus. John Stott, penulis yang terkenal mengatakan, “Kekristenan tanpa Kristus seperti pigura tanpa foto, seperti tubuh tanpa nyawa”. Inti kekristenan terletak pada relasi kita dengan Kristus. Apakah kita sudah memiliki relasi dengan Kristus? Kalau kita hanya tahu tentang Kristus tapi tidak punya relasi dengan Dia, maka kita perlu bertanya apakah kita sungguh-sungguh sudah menjadi orang Kristen?
Related posts