Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko
Hari ini kita akan mempelajari sebuah pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Sola Scriptura? Kita yang pernah tahu sejarah reformasi, yaitu reformasi gereja yang terjadi pada abad ke-16, maka kita sudah mengenal semboyan reformasi seperti, Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura, Solus Cristus, dan Soli Deo Gloria. Nah, salah satu yang akan kita bahas adalah Sola Scriptura. Apa artinya Sola Scriptura?
Secara hurufiah Sola Scriptura berarti Hanya Kitab Suci. Sola berarti “hanya” dan Scriptura berarti “Kitab Suci”. Kalau keduanya digabungkan berarti “Hanya Kitab Suci”. Tetapi apa yang dimaksud dengan “Hanya Kitab Suci” (Sola Scriptura)? Di antara dua kata ini, yaitu Sola dan Scriptura, penekanan sebetulnya terletak pada kata Sola atau “Hanya”. Karena kalau kita melihat sejarah pada waktu itu gereja sudah mempercayai Kitab Suci. Tetapi persoalannya adalah gereja bukan hanya mempercayai Kitab Suci sebagai standar kebenaran, kehidupan, dan iman, tetapi gereja juga mempercayai hal-hal yang lain. Itulah sebabnya para reformator pada abad ke-16 berusaha untuk menegaskan bahwa standar iman, kehidupan, dan kebenaran di dalam segala sesuatu hanya Kitab Suci, hanya Alkitab saja. Tetapi gereja pada waktu itu tidak demikian. Mereka menyandingkan Alkitab setara dengan tradisi gereja. Walaupun secara formal mereka menolak itu, tetapi dalam prakteknya gereja menyejajarkan otoritas Alkitab dengan tradisi gereja. Jadi apa yang ada di dalam tradisi gereja, apa yang sudah ada sebelumnya berabad-abad itu dianggap sebagai kebenaran dan disandingkan dengan Alkitab.
Bukan cuma gereja menyandingkan antara Alkitab dengan tradisi gereja, tetapi gereja juga menyandingkan Alkitab dengan keputusan gerejawi atau keputusan para pemimpin gereja. Beberapa momen di dalam sejarah gereja, kita melihat bahwa orang-orang, terutama para pemimpin gereja menyakini bahwa apa yang mereka putuskan tidak mungkin bisa keliru. Itulah sebetulnya yang sedang ditentang oleh Sola Scriptura. Sola Scriptura menekankan bahwa standar kebenaran bukan pemimpin gereja. Pemimpin gereja bisa melakukan kesalahan, bisa mengambil keputusan yang keliru, tetapi hanya Kitab Suci saja yang tidak mungkin mengandung kesalahan. Jadi ketika kita memahami Sola Scriptura, seharusnya kita memahami konteks sejarahnya pada waktu itu dimana gereja menyandingkan otoritas Alkitab dengan tradisi gereja di masa lalu.Pada waktu itu gereja juga menyandingkan otoritas Alkitab dengan keputusan gerejawi atau keputusan para pemimpin gereja, dan jelas ini adalah konsep yang keliru. Standar kebenaran yang tertinggi adalah Alkitab, bukan tradisi gereja atau keputusan para pemimpin gereja, yang bisa melakukan kesalahan.
Saya ingin membandingkan problem gereja pada abad ke-16 itu dengan apa yang terjadi pada zaman Tuhan Yesus. Pada waktu itu Tuhan Yesus sedang berdebat dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, karena orang-orang Farisi menganggap bahwa tradisi yang tertulis di dalam Kitab Suci itu tidak cukup dan perlu untuk ditambah dengan yang lain-lain. Misalnya pada waktu murid-murid Tuhan makan tanpa mencuci tangan, hal itu menjadi persoalan. Kemudian pada waktu murid-murid Tuhan makan gandum di ladang juga dipersoalkan, karena mereka melakukannya pada hari Sabat. Di dalam Matius 15 Tuhan Yesus menegur mereka. Tuhan Yesus mengatakan: “Mengapa kamu mengganti firman Allah dengan tradisi-tradisi manusia?” Jadi orang Farisi menganggap bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci sama berotoritas dengan apa yang menjadi tradisi lisan atau apa yang menjadi kebiasan mereka turun temurun. Tuhan Yesus sangat menentang hal itu, karena kebenaran Alkitab itu jauh lebih tinggi. Standar kebenaran utama adalah kebenaran Alkitab, bukan terletak pada tradisi manusia. Manusia telah jatuh dalam dosa dan memiliki natur yang berdosa, sehingga keputusan, pikiran, perasaan, pertimbangan manusia bersifat bisa keliru dan seringkali malah keliru. Tetapi yang tidak bisa keliru adalah Kitab Suci. Karena itu kita bisa mengambil kesimpulan di sini bahwa sejak zaman Tuhan Yesus sampai pada zaman reformasi gereja seharusnya menegakkan Sola Scriptura.
Bagaimana dengan gereja modern sekarang? Apakah kita menjadikan Alkitab sebagai standar kebenaran yang utama dan satu-satunya? Ataukah kita juga menjadikan mimpi, bisikan roh, penglihatan yang tidak jelas kebenarannya sebagai standar kebenaran kita? Saya mengajak setiap kita untuk kembali pada basic, kembali kepada sesuatu yang sangat mendasar (back to the basic), yaitu di dalam Kitab Suci kita. Hanya Alkitab sebagai standar kebenaran utama. Mari kita membaca Alkitab dengan lebih rajin. Mari kita tafsirkan Alkitab dengan lebih teliti. Mari kita mempelajarinya dengan hati yang lebih sungguh-sungguh. Mari kita mengalami reformasi di dalam diri kita dan di dalam gereja kita melalui kebenaran firman Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati kita! Amin!
Related posts