Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko

Sebagaimana kita ketahui pertanyaan pertama dalam Katekismus Westminster adalah What is the chief end of man? Atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Apakah tujuan utama manusia? Nah, apakah arti kata “utama” di dalam kalimat ini? Kata “utama” dalam kalimat ini bukan berbicara tentang urutan nomor satu, dan ada nomor dua, tiga, dan seterusnya, seolah-olah memuliakan Allah itu adalah hal yang paling penting, lalu ada hal-hal lain yang juga penting, tapi tidak sepenting memuliakan Allah.

Kata “utama” di sini bukanlah dalam hal urutan, tetapi harus dipahami sebagai sebuah inti. Kata “utama” di sini bisa digambarkan sebagai sebuah payung yang memayungi segala sesuatu yang kita lakukan. Jadi memuliakan Allah bukan sebuah tindakan yang terpisah dari tindakan-tindakan yang lain; tetapi sebaliknya, semua tindakan yang kita lakukan adalah untuk memuliakan Allah.

Untuk menjelaskan hal ini, saya membandingkannya dengan beberapa ayat di dalam Alkitab. Firman Tuhan dalam Ulangan 5:6 mengatakan, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Lalu di Matius 22:39 Tuhan Yesus menambahkan dengan berkata, “…Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kalau memang kita dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap keberadaan diri kita (kekuatan, akal budi), berarti tak ada lagi yang tersisa untuk yang lain. Bagaimana bisa Kristus mengajarkan kita mengasihi Allah dengan segenap hati, seluruh hidup kita; tapi kita masih diperintahkan untuk mengasihi orang lain? Bukankah sudah tidak ada lagi yang tersisa dari kita pada saat kita memberikan segenap dan seluruhnya kepada Allah?

Tentu maksud dari Tuhan Yesus bukanlah demikian. Maksud Tuhan Yesus adalah ketika kita mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan kita; itu bukanlah nomor satu dalam pengertian urutan; melainkan sebuah inti atau payung dari segala sesuatu. Karena kita mengasihi Allah, maka kita mengasihi manusia. Jadi mengasihi manusia itu masuk di dalam kategori kita mengasihi Allah. Tidak heran Alkitab berkata: Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta . . . (1Yoh. 4:20), karena ketika kita mengasihi orang lain, maka kita sedang membuktikan kasih kita kepada Allah.

Demikian juga dengan kata “utama” dalam katekismus Westminster. Ketika kita memuliakan Allah, itu bukanlah berarti tindakan pertama atau terpisah dari hal-hal yang lain; tetapi merupakan inti atau payung yang memayungi segala tindakan yang kita lakukan. Tidak heran Paulus mengatakan dalam 1Korintus 10:31, “…Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Senada dengan Rasul Paulus, Rasul Petrus dalam 1 Petrus 4:11 mengatakan, “Kita melakukan segala sesuatu supaya Allah dimuliakan di dalam segala sesuatu.” Bukan berarti kita memuliakan Allah adalah satu hal, lalu kemudian melakukan hal-hal lain yang terpisah dari memuliakan Allah. Memuliakan Allah menjadi dorongan di dalam hidup kita, menjadi motivasi dan hasrat terbesar dalam diri kita. Karena kita ingin memuliakan Allah, maka kita melakukan apa pun untuk kemuliaan-Nya.

Ketika Paulus memberi nasihat kepada para budak di Kolose 3, ia mengatakan, “Hai para hamba taatilah tuanmu, bekerjalah seperti untuk Tuhan.” Bahkan untuk hal-hal yang tampaknya sekuler, yaitu pekerjaan, yang biasanya dipisahkan dari hal-hal yang rohani, tetap kita lakukan untuk memuliakan Allah. Jadi sekali lagi memuliakan Allah bukanlah dalam nomor satu, lalu diikuti hal-hal lain. Memuliakan Allah juga bukan berarti terpisah dari hal-hal lain. Memuliakan Allah adalah inti atau payung untuk semua hal yang kita lakukan.

Kebenaran ini membawa konsekuensi yang penting bagi kita, yaitu meniadakan perbedaan antara yang sakral/rohani dengan yang sekuler/yang tampaknya duniawi. Jika memuliakan Allah menjadi hasrat hidup kita, serta menjadi motivasi terdalam hidup kita; maka seharusnya kita sadar dan menerima: Ttidak ada satu pun dalam hidup kita yang sekuler, dalam arti tidak ada satupun dalam hidup kita yang terpisah dari Allah. Tetapi segala sesuatu yang kita lakukan adalah sakral, karena kita lakukan untuk kemuliaan Allah. Studi kita, pelayanan kita, pekerjaan kita, keluarga kita, pacaran kita, apa pun yang kita lakukan, se-sepele apa pun yang kita lakukan, kita tahu bahwa semuanya rohani. Mengapa? Karena kita melakukan untuk Tuhan. Inilah arti kata “utama” dalam Katekismus Westminster, yaitu bukan bicara soal urutan nomor satu, tetapi “utama” berarti inti dari segala sesuatu dan payung yang melingkupi segala sesuatu. Kiranya hidup kita benar-benar ditujukan pada tujuan yang utama, yaitu memuliakan Allah. Dalam melakukan apapun, biarlah kita selalu ingat bahwa kita melakukannya untuk kemuliaan Allah. Tuhan memberkati kita. Amin