Oleh: Pdt. Rickstofen R. Palendeng (dalam laporan ke persidangan SMS 2017)
Kekristenan tidak bisa lepas dari ibadah. “Dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN” (Maz 113:3) akan terus diekspresikan dalam kehidupan orang Kristen lewat praktik ibadahnya. Dialog yang dinamis antara Tuhan dan umat-Nya harus mewarnai tatanan ibadah yang ada. Itu sebabnya para pemimpin gereja dan secara khusus para perancang ibadah perlu memikirkan secara serius hal ini.
Keseriusan dalam merancang ibadah korporat terlihat saat menggumulkan dan mengintegrasikan aspek-aspek penting ibadah ke dalam tatanan yang baik. Adapun aspek-aspek penting yang dimaksud adalah Essential (Esensi), Expression (Ekspresi), dan Excellence (Keunggulan). Aspek Esensi menekankan pada hal yang utama dari ibadah. Di sinilah pertanyaan seputar apa dan mengapa beribadah perlu mendapat dasar teologi yang kuat. Di atas dasar ini, dibangunlah sebuah tata ibadah yang baik atau yang kita kenal dengan sebutan Liturgi.[1] Aspek Ekspresi akan menjadi tahap selanjutnya, di mana liturgi yang telah disusun kemudian diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk pelaksanaan yang kontekstual dan dinamis. Setelah di mengerti metode pelaksanaan dari liturgi yang disusun, maka para pelayan ibadah perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Inilah yang menjadi penekanan aspek Excellence.
Sinode GKKA INDONESIA menyadari pentingnya sebuah liturgi ibadah yang memperhatikan ketiga aspek di atas. Itu sebabnya pada tahun 2003 melalui Departemen Teologia telah dibuat sebuah buku “Pegangan Tata Cara Ibadah”, yang didalamnya memuat Liturgi Ibadah Minggu. Kemudian pada tahun 2015 dalam Konsultasi Teologi IV di Kendari, kembali dibahas soal Ibadah dengan tema “Mengenal Ibadah dan Liturgi Kristen.” Pdt. Juswantori Ichwan, yang menjadi narasumber, menerangkan banyak hal terkait ibadah Kristen beserta perkembangan liturginya. Konsultasi Teologi ini kemudian menghasilkan sebuah rekomendasi untuk diputuskan dalam Sidang Raya XII, tentang perlunya revisi terhadap buku Liturgi yang ada. Persidangan menyetujuinya dan menugaskan Departemen Teologia untuk membentuk sebuah tim kerja yang akan mengerjakan tugas ini. Tim Revisi Liturgi (TRL) pun dibentuk, yang beranggotakan: Pdt. Rickstofen Ricky Palendeng, S.Th, Pdt. Char Ley Bun., B.Th, dan Ev. Margie Yang., B.CM.
Sejak terbentuknya, TRL telah berhasil menyusun liturgi untuk kebaktian umum dan liturgi untuk beberapa even lainnya, dengan tetap memperhatikan aspek Esensi, Ekspresi, dan Excellence. Hasil kerja TRL ini menjadi rekomendasi MPHS dalam dua persidangan, yakni SMS 2017 di Banjarmasin dan SR XIII tahun 2019 di Balikpapan. Kedua persidangan tersebut telah menyetujui rekomendasi MPHS ini.
[1] Liturgi berasal dari kata “laos” (rakyat) dan “ergon” (pekerjaan). Dalam konteks Romawi, kata “liturgi” mengacu pada pekerjaan yang dilakukan bagi kepentingan pemerintah. Dalam konteks Kristen kata “liturgi” mengacu pada pelayanan yang dilakukan bagi Tuhan. Jadi liturgi adalah partisipasi bersama umat yang diperuntukkan bagi Tuhan. Pelayanan ini membutuhkan suatu pengaturan, kapan dan bagaimana bentuk partisipasi umat dalam ibadah, agar dapat berjalan dengan baik dan teratur (bdk 1Kor 14:40). Pengaturan inilah yang kita kenal sebagai “Tata Ibadah” yang dalam perjalanan waktu lebih dikenal dengan sebutan “Liturgi”.
Sambutan-Buku-Tata-Ibadah-GKKA-INDONESIARelated posts