Oleh: Ev. Yunias
Melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang jelas dan benar merupakan hal yang sangat penting dalam hidup kita, supaya kita tidak salah persepsi dan tidak salah dalam bereaksi. Kita bisa melihat hal yang sama, objek yang sama, tetapi jika sudut pandang kita berbeda maka itu akan menghasilkan persepsi kita tentang hal itu juga berbeda. Persepsi yang berbeda akan menghasilkan reaksi atau respons yang berbeda pula. Inilah yang terjadi dengan kedua belas pengintai di dalam Ulangan 13-14. Sudut pandang kesepuluh (10) pengintai berbeda dengan dua (2) orang pengintai lainnya, yaitu Yosua dan Kaleb. Perbedaan sudut pandang mereka menghasilkan perbedaan persepsi mereka tentang tanah Kanaan. Dan perbedaan persepsi itu menghasilkan reaksi atau respons yang berbeda pula.
Bilangan 13-14 menceritakan kepada kita bahwa Allah menyuruh Musa untuk mengutus 12 orang pengintai untuk mengintai atau mengamati tanah Kanaan yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang bangsa Israel. Maka Musa memanggil satu orang pemimpin dari masing-masing suku Israel, sehingga terpilih 12 orang pemimpin dari tiap-tiap suku. Mereka ada Syamua, Safat, Gadiel, Amiel, Kaleb, Yosua, dan sebagainya. Musa kemudian menyuruh mereka pergi untuk mengintai tanah Kanaan. Apa yang Musa minta untuk mereka amati di tanah Kanaan? Di pasal 13:18-19 Musa memberikan rincian hal yang perlu mereka amati baik-baik. Para pengintai ini harus mengamati bangsa itu apakah mereka kuat atau lemah, sedikit atau banyak; mereka juga harus mengamati negeri itu apakah baik atau buruk; lalu perhatikan juga kota-kotanya, apakah mereka berdiam di tempat terbuka atau di tempat yang berkubu; lalu mereka juga harus memperhatikan tanah mereka apakah gemuk atau kurus, apakah banyak pohon-pohon atau tidak. Semua itu harus mereka amati dengan baik agar laporan yang mereka sampaikan kepada Musa benar-benar akurat. Maka mulailah ke 12 pengintai itu berjalan dan mengintai tanah Kanaan itu dengan seksama. Mereka mengamati baik-baik keadaan bangsa itu, keadaan negeri mereka, keadaan kota-kota mereka, tanah mereka dan sebagainya.
Apa yang mereka temukan di sana? Pasal 13:22 menyebutkan bahwa di sana ada keturunan orang Enak, yaitu orang-orang raksasa. Seberapa besar mereka? Menurut ke 10 pengintai, jika dibandingkan dengan mereka, mereka hanya seperti belalang jika dibandingkan dengan orang-orang Enak itu. Artinya mereka tinggi besar, gagah perkasa, dan layaknya seperti raksasa jika dibandingkan dengan mereka. Namun di balik orang-orang raksasa yang gagah perkasa itu, tanah Kanaan adalah tanah yang subur dan indah. Pasal 13:23 menceritakan ketika para pengintai itu tiba di lembah Eskol, maka mereka memotong satu cabang dengan setandan buah anggur dan diangkat atau dipikul oleh 2 orang. Saudara bayangkan 1 tandan buah anggur dipikul oleh 2 orang. Betapa bagus dan lebatnya buah anggur itu. Dan betapa suburnya tanah di sana sehingga menghasilkan buah anggur yang sedemikian baiknya. Sehingga tidak heran apabilan tanah Kanaan itu dijuluki tanah yang berlimpah dengan susu dan madunya.
Lalu di pasal 13:27-29 para 10 pengintai itu memberikan laporan kepada Musa hasil pengintaian dan pengamatan mereka terhadap tanah Kanaan. Mereka mengatakan bahwa memang negeri itu berlimpah susu dan madunya, hanya bangsa yang diam di negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu sangat besar. Orang Amalek, orang Het, orang Yebus, dan orang Amori berdiam di pegunungan. Jadi tidak mungkin bisa menyerang mereka dari sisi pegunungan. Demikian juga orang Kanaan mereka diam di sepanjang laut dan di sepanjang tepi sungai Yordan. Jadi tidak mungkin juga menyerang dari sisi laut atau sungai Yordan, karena mereka pun berdiam di sana. Artinya tidak ada celah untuk mereka menyerang bangsa Kanaan itu, baik dari sisi pegunungan mau pun dari laut. Tidak ada jalan masuk untuk menyerang tanah Kanaan itu. Atau kalaupun berhasil masuk, juga tidak mungkin dapat melawan orang-orang Enak yang seperti raksasa itu. Karena itu kesepuluh pengintai itu mengatakan di ayat 10, “Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita.”
Saudara sekalian, mendengar perkataan kesepuluh pengintai itu maka segenap umat Israel mengeluarkan suara nyaring dan menangis pada malam itu. Mereka bersungut-sungut kepada Musa dan Harun, “Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini. Mengapa TUHAN membawa kami keluar ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?” Mereka menyesali Musa telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Namun tidak hanya itu, mereka juga mengatakan: “Baiklah kita mengangkat seorang pemimpin, lalu pulang ke Mesir.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa mereka menolak Musa menjadi pemimpin atas mereka. Mereka marah kepada Musa dan juga Harun karena telah membawa mereka keluar dari Mesir. Bahkan sebetulnya mereka marah dan menyalahkan Tuhan yang telah memimpin mereka keluar dari Mesir. Mereka bersungut-sungut kepada Musa dan Harun. Lalu melihat itu maka Musa dan Harun bersujud di hadapan segenap jemaah Israel yang berkumpul di situ. Ini adalah ekspresi kesedihan Musa dan Harun atas reaksi atau respons umat Israel terhadap berita yang disampaikan oleh kesepuluh pengintai itu. Yosua dan Kaleb pun mengoyakkan pakaian mereka tanda dukacita mereka melihat respons dari jemaah Israel yang berkumpul di situ.
Saudara sekalian, jika kita melihat respons atau reaksi dari bangsa Israel, sebetulnya ini adalah reaksi atau respons yang seringkali dilakukan oleh banyak orang ketika terjadi satu kesulitan atau bahkan tantangan dalam hidup mereka, termasuk kita di dalamnya. Ketika ancaman datang, bahaya ada di depan mata kita, keadaan semakin genting, maka kemarahan memang seringkali menjadi pilihan ‘terbaik’ yang kita lakukan. Ketika tidak ada jalan keluar, keadaan sedang genting dan terancam, maka yang timbul adalah kemarahan di dalam diri yang seringkali kita lampiaskan kepada orang-orang di sekitar kita atau orang-orang yang kita pikir menjadi penyebab keadaan itu terjadi. Atau bisa jadi juga kita menjadi marah kepada siapa pun yang ada di sekitar kita.
Namun selain marah, sikap yang biasanya juga muncul pada saat keadaan sulit dan genting adalah mempersalahkan atau mencari-cari siapa yang salah. Kita mulai mencari objek atau orang yang bisa kita persalahkan dan yang kita anggap paling bertanggungjawab atas keadaan yang kita alami. Persis dengan bangsa Israel. Mereka menyalahkan Musa dan Harun. Bahkan mereka menyalahkan Tuhan atas situasi yang sedang mereka hadapi. Mengapa demikian? Karena memang mempersalahkan atau mencari siapa yang salah itu seringkali lebih mudah. Kita juga menjadi lebih puas dan menjadi lebih “lega” ketika ada objek atau orang yang bisa kita persalahkan atas situasi yang kita hadapi.
Atau ekspresi lain yang juga sering muncul adalah bersungut-sungut, seperti bangsa Israel. Saat krisis datang, keadaan sulit kita alami, atau seperti bangsa Israel yang mengalami ancaman bahaya, maka kita mulai mengeluh dan bersungut-sungut. Bersungut dan mengeluh atas keadaan yang kita hadapi, mengeluh atas hal ini dan hal itu, bersungut tentang hal ini dan itu, dan sebagainya. Di tengah keadaan yang demikian seringkali kita menjadi sulit untuk bisa mengucap syukur atas kondisi yang kita alami. Yang lebih banyak kita lakukan adalah mengeluh dan bersungut-sungut, bahkan menggerutu di dalam hati kita.
Lalu setelah marah, bersungut-sungut, dan mempersalahkan orang lain, maka hal terakhir yang kita anggap paling baik dan paling masuk akal adalah mencari jalan keluar berdasarkan kemauan dan apa yang kita pandang baik menurut pandangan kita. Itulah yang dilakukan oleh bangsa Israel. Menurut mereka jalan keluar atau solusi yang terbaik agar mereka tidak mati oleh bangsa Kanaan adalah mengangkat seorang pemimpin lain untuk membawa mereka kembali pulang ke Mesir. Mereka pikir itu solusi yang terbaik berdasarkan kemauan mereka. Ini adalah jalan yang paling baik dan paling masuk akal dalam kondisi yang genting seperti itu. Hal semacam ini juga sering kita lakukan, bukan? Kita mungkin berhenti untuk marah, berhenti bersungut, dan saling mempersalahkan. Lalu mungkin kita akan mencari cari jalan keluar dari kesulitan dan pergumulan yang kita hadapi itu. Tetapi masalahnya adalah seringkali jalan keluar atau solusi yang kita ambil adalah apa yang sesuai dengan kemauan dan kehendak kita, yang terbaik menurut kacamata kita, bukan kacamata Tuhan. Apa yang kita lakukan kemudian adalah menurut pandangan kita, bukan pandangan Tuhan.
Namun tahukah Saudara bahwa situasi ini muncul, atau respons semacam ini muncul di tengah umat Israel, adalah karena kesepuluh pengintai itu melaporkan hal-hal buruk tentang tanah Kanaan? Mereka tidak melihat tanah Kanaan dari kacamata iman kepada Tuhan. Mereka tidak melihat tanah Kanaan itu dari sudut pandang yang benar sebagai umat Allah. Mereka hanya melihat bangsa-bangsa Kanaan sebagai bangsa yang menakutkan dan lebih kuat daripada mereka. Mereka melihat orang-orang Enak yang tinggi besar dan gagah perkasa, sementara mereka seperti belalang besarnya. Bahkan mereka menambahkan bahwa orang-orang Kanaan itu adalah orang-orang yang memakan penduduknya. Sehingga hal ini membuat mereka mengatakan bahwa tidak mungkin kita dapat mengalahkan bangsa Kanaan, kita tidak dapat maju menyerang mereka, sebab mereka lebih kuat dari pada kita (13:31). Mereka terlalu kuat bagi kita untuk kita taklukkan. Karena itu lebih baik kita mundur dan kembali ke Mesir. Itulah yang ada di pikiran kesepuluh pengintai dan juga orang-orang Israel pada waktu itu.
Namun tindakan yang berbeda justru ditunjukan oleh Kaleb dan Yosua. Di tengah kesepuluh pengintai itu melemahkan semangat bangsa Israel dan mengajak bangsa Israel untuk mundur dan kembali ke Mesir, namun Kaleb dan Yosua justru mengajak mereka untuk maju dan berperang untuk menduduki negeri Kanaan itu (13:30). Kaleb bahkan mengatakan di pasal 13:30 bahwa kita pasti akan mengalahkannya atau dengan kata lain ia ingin mengatakan bahwa kita pasti akan mengalahkan bangsa Kanaan itu. Lalu di pasal 14:8 mereka menambahkan dengan berkata: “Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.” Mereka yakin betul bahwa Tuhan pasti akan memberikan negeri Kanaan itu kepada bangsa Israel. Mereka yakin bahwa Tuhan pasti akan menolong mereka mengalahkan bangsa-bangsa Kanaan dan menduduki negeri itu. Inilah mata iman yang dimiliki oleh Kaleb dan Yosua di dalam menghadapi kesulitan dan tantangan yang ada di depan mereka. Mereka melihat negeri itu dengan mata iman kepada Tuhan, bahwa Tuhan pasti akan memberikan negeri itu kepada umat Israel.
Di sini kita melihat dua sikap yang berbeda antara kesepuluh pengintai itu dengan Kaleb dan Yosua. Mereka sama-sama masuk tanah Kanaan. Mereka sama-sama melihat kedaan negeri itu dan bangsa yang diam di sana. Tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda. Kaleb dan Yosua melihat negeri Kanaan dari sudut pandang iman kepada Tuhan. Mereka melihat dengan kacamata iman kepada Tuhan. Sementara kesepuluh pengintai itu melihat dari sudut pandang ketakutan dan ketidakmungkinan. Perbedaan cara melihat dan sudut pandang mereka itu menghasilkan persepsi mereka yang berbeda. Dan perbedaan persepsi itu menghasilkan reaksi atau respons yang berbeda.
Saudara sekalian, di tengah keadaan yang sulit yang kita hadapi hari-hari ini, saya rindu mengajak kita untuk melihatnya dari sudut padang yang sama, yaitu dari sudut pandang iman kepada Tuhan – dari mata iman kita kepada Tuhan. Apa yang tidak mungkin bagi dunia, mungkin bagi Allah. Apa yang mustahil bagi dunia, tidak mustahil bagi Allah. Bagi dunia tidak ada jalan keluar, tetapi bagi Tuhan ada jalan keluar. Yang Tuhan inginkan adalah kita percaya sepenuhnya kepada-Nya dan melihat segala persoalan dari mata iman kita kepada-Nya.
Saudara sekalian, apa yang bisa kita pelajari dari bagian ini? Saya ingin kita melihat secara singkat dua hal.
Pertama, sikap marah, mempersalahkan orang lain, bersungut-sungut di tengah persolan dan kesulitan, dan mencari jalan keluar menurut kemauan atau kehendak diri sendiri, bukanlah sikap seseorang yang melihat persoalan dari mata iman kepada Tuhan. Itu bukan sekadar persoalan emosional semata, tetapi itu persoalan spiritual yang sangat serius; itu bukan hanya soal perasaan, tetapi soal iman kepada Tuhan. Ketika kita marah saat ada kesulitan, kita saling mempersalahkan atau mencari-cari siapa yang salah, lalu bersungut-sungut kepada Tuhan, dan kemudian kita mencari jalan keluar sendiri menurut kehendak kita, itu menunjukkan ada yang salah dengan iman kita kepada Tuhan. Itu bukan sekadar soal perasaan kita, tetapi itu soal iman kita.
Kedua, mari kita melihat berbagai peristiwa dan persoalan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita dan juga bangsa kita dari sudut pandang iman kita kepada Tuhan, dari mata iman kita kepada Dia. Apa pun yang saudara hadapi hari-hari ini, mari kita melihat semua itu dari mata iman kepada Tuhan, sehingga kita bisa berkata seperti Kaleb, bahwa kita pasti akan mengalahkannya. Apa pun yang menjadi persoalan dan pergumulan kita hari ini, kita pasti akan mengalahkannya. Kita punya Kristus yang telah menang mengalahkan maut. Musuh terbesar kita telah dikalahkan dan ditaklukkan oleh kuasa-Nya. Oleh karena itu tidak ada persoalan yang terlalu besar bagi Tuhan, sehingga Ia tidak mampu menaklukkannya. Seperti kata Yosua dan Kaleb, jika Tuhan berkenan kepada kita, maka Ia akan memberikan kepada kita kemenangan atas persoalan dalam hidup kita. Bersama dengan Kristus kita pasti akan mengalahkan setiap persoalan kita. Amin!
Tuhan memberkati!
Mata-ImanRelated posts