Oleh: Pdt. Hengky Tjia

Penderitaan adalah realitas hidup. Serasa tak ada habisnya kita disuguhi tontonan tragedi kemanusiaan. Kemiskinan, kelaparan, tirani, penyiksaan, penyakit, dan kematian. Di tengah paparan penderitaan, manusia bertanya: “Dimana Allah yang penuh kasih itu? Adakah Dia? Kenapa Dia diam?”

Alkitab tidak memberi jawaban yang dangkal atas penderitaan manusia. Alkitab justru mengajak kita melihat derita itu melalui kacamata salib. Melalui salib Kristus, Allah telah membuktikan kasih-Nya kepada manusia. Melalui salib Kristus kita dapat melihat betapa Allah peduli pada penderitaan umat manusia. Roma 5:8, mengungkapkan tiga kebenaran tentang kasih Allah melalui kematian Kristus di kayu salib

Pertama, Allah memberikan Anak-Nya bagi kita.

Betapa seriusnya dosa manusia dan betapa mulianya Allah menjadi alasan mengapa Allah memberikan Anak-Nya sendiri. Dosa membuat kita menderita dan hanya Allah yang bisa membebaskan kita dari hukuman dosa.

Namun Allah yang penuh kasih adalah juga hakim yang adil atas dosa-dosa kita. Di salib Yesus, Dia menyatakan kasih dan keadilan-Nya. Alkitab menyatakan bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Tidak ada satu makhluk pun yang layak dan mampu untuk menebus manusia dari hukuman dosa-dosanya, kecuali Yesus Kristus, Putra Tunggal Allah. Dengan memberikan Anak-Nya, sesungguhnya Allah memberikan “jantung hati-Nya” sendiri kepada kita.

Alkitab berkata: “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32). Jika Allah sudah memberikan Anak-Nya yang tunggal demi kebaikan kita, maka tidaklah mungkin Dia mengizinkan derita datang untuk menghancurkan kita. Dia layak untuk kita percayai di tengah derita kita.

Kedua, Allah memberikan Anak-Nya untuk mati.

Allah bukan hanya sekadar memberikan Anak-Nya bagi kita, tetapi Dia memberikan anak-Nya untuk mati. Dosa dan hukuman yang Yesus tanggung seharusnya adalah milik kita. Namun Anak Allah itu rela mengambil tempat kita, menanggung dosa kita, membayar hutang kita, dan mati menggantikan kita. Di kayu salib Kristus merasakan kegersangan neraka. Dia menjalani jam-jam kegelapan di mana Allah mengabaikan-Nya karena dosa kita. Kristus menggantikan kita, sehingga kita dapat diselamatkan.

Pengorbanan Kristus ini seharusnya tidak membuat kita berpuas diri dan berpangku tangan. Pengorbanan Kristus seharusnya membuat kita menjadi pribadi yang solider terhadap penderitaan sesama. Mengapa? Karena orang lain juga memiliki pergumulan dan penderitaan. Ketika kita bergumul dengan dosa kita, orang lain pun mengalami hal yang sama, dan mereka juga berupaya untuk bebas dari dosanya. Ketika kita menderita akibat ketidakadilan yang dilakukan oleh sesama, jangan lupa bahwa di sekitar kita ada banyak korban ketidakadilan yang juga membutuhkan pembelaan.

Hari ini ada banyak saudara sebangsa kita yang hidupnya jauh lebih menderita. Mereka bergumul untuk makan sehari, terbelit hutang di dalam ketidakberdayaan, terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan. Salib Kristus mengingatkan kita bahwa ada orang lain yang juga menderita dan membutuhkan kelegaan. Maukah kita peduli pada mereka, sebagaimana Kristus sudah lebih dahulu peduli pada kita?

Ketiga, Allah memberikan Anak-Nya untuk mati bagi kita.

Ya, Allah memberikan Anak-Nya untuk mati bagi kita yang digambarkan sebagai orang-orang berdosa, durhaka, seteru, dan lemah. Tentu kita rela memberikan hadiah kepada seorang yang kita anggap pantas menerimanya. Tetapi ketika Allah memberikan Anak-Nya, Dia sedang memberikan diri-Nya mati untuk musuh-musuh-Nya. Dia memberikan segalanya kepada mereka yang tidak layak mendapatkan. Kematian Kristus di kayu salib seharusnya membuat kita berpikir bahwa Junjungan kita melakukan hal tersebut juga untuk sesama kita.

Pengampunan-Nya kepada para penyalib dan berita keselamatan kepada penyamun yang juga disalib bersama-Nya menunjukkan betapa Dia mengasihi si pendosa dan rindu mengubah hidup mereka. Dari atas salib-Nya, Yesus meminta supaya Maria ibu-Nya menerima murid-Nya sebagai anak, dan Dia juga berkata kepada murid-Nya: “Inilah ibumu!” Salib Kristus seharusnya membuat kita menempatkan orang lain sebagai orangtua, saudara, dan anak kita sendiri. Atau dengan kata lain, penderitaan sesama adalah penderitaan kita juga.

Salib tidaklah menenangkan badai derita, tetapi memberikan kita landasan yang kokoh untuk untuk melihat dan menanggung penderitaan. Salib membuktikan bahwa Allah tidak tinggal diam melihat penderitaan umat ciptaan-Nya. Pribadi yang tersalib itu cukup untuk membuktikan bahwa Allah ikut menderita bersama kita. Kita juga dikuatkan bahwa penderitaan-Nya di kayu salib justru dalam rangka memberi kemenangan sejati atas penderitaan kita. Jadi, jika hati kita sedang lelah dan susah, pandanglah pada salib itu, pandanglah pada Yesus yang tersalib itu.