KEPUTUSAN SIDANG RAYA XIII (BALIKPAPAN, 2019)

Ibadah yang hidup tidak hanya merupakan liturgi tertata (esensi) tapi juga harus dinamis (ekspresi).  Hal ini menjadi sangat penting dalam Ibadah Konvergensi.  Itu sebabnya bagian yang dinamis terletak pada metode pelaksanaannya.  Di sinilah ragam kreativitas dari perancang ibadah bisa diterapkan.

Pilihan Ekspresi Liturgikal

Berikut ini beberapa eskpresi liturgikal yang dapat diterapkan dalam metode pelaksanaan ibadah GKKA INDONESIA.[1]

TINDAKAN LITURGIMETODE PELAKSANAAN
Panggilan IbadahPilihan: Pernyataan (memilih salah satu ayat alkitab), Bacaan Bertanggapan, Nyanyian Jemaat, Introitus (prosesi), Paduan Suara
Votum dan SalamFormat Votum dan Salam[2]
Nyanyian JemaatSesuai lagu pilihan
Pengakuan DosaPilihan: Doa PribadiLitaniDoa dipimpin Liturgos/Hamba TuhanNyanyian Jemaat
Berita AnugerahPembacaan ayat firman Tuhan
Pembaharuan KomitmenPilihan: Pembacaan 10 Hukum AllahNyanyian Jemaat (bisa diiringi tarian)Ayat HafalanBacaan BersamaBacaan Bertanggapan
PersiapanPilihan: Paduan SuaraNyanyian JemaatTarian LiturgiTeatrikal
KhotbahDoa Epiklese (Penerangan dari Roh Kudus)Pemberitaan Firman Tuhan
Pengakuan ImanPilihan pengakuan-pengakuan iman yang diakui oleh GKKA INDONESIA:[3]  Pengakuan Iman RasuliPengakuan Iman Nicea KonstantinopelPengakuan Iman Athanasius
Doa SyafaatPokok-pokok doa telah ditentukan gereja
Sakramen (Perjamuan Kudus atau Baptisan Kudus)Mengikuti: Liturgi Sakramen Perjamuan Kudus Liturgi Sakramen Baptisan Kudus
Salam KasihSaling bersalamanSambutan kepada jemaat baruUcapan selamat HUT Kelahiran dan PernikahanJika ada kegiatan tertentu dalam rangka perayaan acara khusus dari gereja (Mis: Tiup Lilin HUT gereja, Tarian Budaya, Dll), maka kegiatan tersebut dapat dimasukkan di bagian ini
PersembahanPilihan: Diiringi Solo/Paduan Suara/Vokal GrupDisertai Nyanyian Jemaat
Doa PersembahanDilakukan oleh Petugas Doa
PengutusanPilihan: Nyanyian JemaatFormat Pengutusan[4]
DoksologiLagu dengan Kriteria:Berfokus pada kemuliaan AllahTrinitarian
BerkatBerkat Harun (Bil. 6:24-26) atau berkat yang bersifat Trinitarian (2Kor. 13:13) Jemaat meresponi: “Amin” (dinyanyikan)

Nyanyian Jemaat

Tidak bisa dipungkiri bahwa nyanyian jemaat seringkali menjadi salah satu permasalahan dalam ibadah.  Dalam model Ibadah Konvegensi, genre sebuah musik tidak menjadi sebuah masalah.  Begitu pula halnya dengan sumber lagu yang digunakan, tidak menjadi menjadi perdebatan. Karena tidak ada lagu tertentu, buku lagu tertentu, atau musik tertentu yang “paling Kristen.”  Setiap liturgi ibadah pasti memuat unsur nyanyian jemaat, karena itu setiap jemaat perlu memperhatikan prinsip teologis dari nyanyian jemaat yang dipilih dan digunakan dalam ibadah.

Bapak gereja Agustinus pernah berkata demikian, “Siapapun yang bernyanyi (kepada Tuhan, dalam ibadah), berdoa dua kali.” Perkataan ini adalah salah satu dari banyak lagi pernyataan yang menekankan kedalaman makna dan pentingnya keberadaan nyanyian dalam ibadah Kristiani.  Nyanyian jemaat menjadi saksi sejarah akan kesaksian iman para anak Tuhan di sepanjang sejarah dunia ini. Namun, kita perlu menyadari bahwa pelbagai konflik dalam gereja berhubungan erat dengan nyanyian jemaat.

Distorsi Nyanyian Jemaat

Di akhir abad ke-20, terjadi ledakan perubahan akan penciptaan dan presentasi pujian jemaat secara global[5].  Perubahan yang masif ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik dan tantangan; beberapa di antaranya menyangkut aspek budaya, aspek linguistik, dan aspek musikalitas[6].  Tak ayal, komunitas kristiani dikondisikan untuk terus bergerak dalam proses menemukan definisi nyanyian jemaat yang cocok bagi kondisi dan situasi masing-masing.  Dalam proses inilah, beberapa komunitas akhirnya membuat keputusan yang condong untuk meninggikan aspek tertentu dan mengesampingkan aspek lain dalam nyanyian jemaat.

Aspek musikalitas. Aspek ini menjadi salah satu titik fokus dalam nyanyian jemaat.  Musik memiliki kekuatan tak terbayangkan, bahkan dapat menusuk hingga tulang-tulang rohani kita[7].  Banyak gereja yang kemudian menjadikan aspek musikal sebagai satu-satunya pertimbangan utama dalam menentukan arah dan identitas nyanyian jemaat.  Hal ini mencakup batasan dan aturan mengenai penggunaan alat musik tertentu bahkan lagu jenis tertentu.  Namun pertimbangan ini akan menjadi sebuah jebakan yang memiliki risiko tinggi bagi pertumbuhan kerohanian jemaat.

Musik tidak dapat dipisahkan dari keterikatannya dengan teks atau lirik dari lagu tersebut.  Musik memang memiliki kekuatan non-verbal yang luar biasa.  Namun tanpa hubungannya dengan kata-kata, efek yang ditinggalkan hanya bersifat emosional tanpa kedalaman makna[8].  John Wesley pernah berkata,

“Above all sing spritually. Have an eye to God in every word you sing.  Aim at pleasing God more than yourself, or any other creature.  In order to do this, attend strictly to the sense of what you sing, and see that your heart is not carried away with the sound, but offered to God continually.”

(“Di atas segalanya bernyanyilah secara (hidup) rohani.  Milikilah mata yang memandang pada Tuhan dalam setiap kata yang engkau nyanyikan.  Milikilah tujuan menyenangkan Tuhan lebih dari menyenangkan diri sendiri, atau makhluk lain.  Untuk melakukan hal ini, perhatikanlah dengan seksama pada inti dari yang engkau nyanyikan, dan ujilah apakah hatimu tidak terbawa oleh suara belaka, tetapi dipersembahkan kepada Tuhan secara terus menerus.”)

Kegagalan menyadari pentingnya hubungan antara musik dan teks dalam nyanyian jemaat menyebabkan munculnya masalah yang dapat memengaruhi bukan hanya kehidupan ibadah korporat, tetapi juga kehidupan ibadah personal jemaat dalam gereja tersebut.  Dalam pengamatan dan pengelompokkan yang dilakukan, paling tidak ada beberapa fenomena yang terjadi pada gereja-gereja saat ini.  Beberapa di antaranya adalah[9]:

Adopsi Bebas.  Banyak gereja menilik tren yang sedang digemari, khususnya di gereja-gereja yang disorot masyarakat.  Hal ini tidaklah membahayakan, gereja butuh selalu mengevaluasi diri.  Namun, bila hal yang popular kemudian diimplementasikan secara langsung di konteks lokal tanpa ada pertimbangan atau penyesuaian, maka potensi konflik dalam gereja akan menjadi ancaman yang tak terbantahkan.

Meniru praktik populer tanpa seleksi akan mengancam pengajaran dalam jemaat lokal.  Kita perlu mawas diri dengan meneliti dan mengevaluasi pengajaran dan dasar kebenaran yang ada di balik setiap praktik lagu dan musik yang ada.  Kegagalan atau kelalaian melakukan evaluasi yang tepat akan menyebabkan fondasi teologis dalam jemaat lokal terguncang, baik dalam skala kecil maupun masif.  Dalam jangka panjang, hal ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan jemaat. Di sisi lain, kurangnya kepekaan untuk mengevaluasi pengajaran di balik praktik yang diadopsi akan mempersempit pengalaman rohani jemaat, dan akan sulit menumbuhkan kedalaman pemahaman dalam perjalanan rohani pribadi jemaat.

Fanatisme.  Sejarah musik gereja membawa kita untuk melihat karya teolog dan/atau musikus yang memengaruhi perkembangan gereja pada zamannya.  Namun kita juga melihat banyak jemaat yang kemudian menjadi penggemar para tokoh ini.  Hal ini dapat menjadi faktor pendukung untuk perkembangan gereja dalam menemukan nyanyian jemaat yang berbobot dan dapat dinikmati.  Di sisi lain, ketika jemaat (dalam hal ini pemimpin gereja) hanya melihat pada satu tokoh atau pada satu genre musik, maka kesempatan untuk memperluas khazanah musik gereja menjadi tertutup.

Setiap jemaat, bahkan setiap gereja, berhak menentukan genre atau tokoh yang berpengaruh bagi kehidupan mereka.  Tetapi jika akhirnya justru menyuburkan sikap fanatik hanya pada tokoh atau genre musik tertentu, ini menjadi tidak sehat.  Mengidolakan tokoh tertentu dan berfokus pada jenis musik tertentu justru hanya akan memiskinkan jemaat dari kekayaan tradisi dan kreasi musik gereja yang sangat luas.  Luasnya repertoar dan dalamnya pengajaran tidak dapat dan tidak mungkin diwakili oleh secuplik karya saja.

Selera Pribadi.  Menjadi pemimpin ibadah tidaklah mudah; tuntutan untuk pemahaman yang lebih dalam dan cakrawala pengetahuan yang lebih luas seringkali terasa menghimpit.  Karena itulah, beberapa pemimpin ibadah akhirnya menetapkan “batasan” bagi diri sendiri, memilih repertoar dan materi musik sesuai dengan kesukaan dan/atau rancangan yang pernah dilakukan sebelumnya.  Hal ini tentu berdampak bagi jemaat yang berada di bawah arahan mereka.

Memang tidak salah memilih berdasarkan selera pribadi dan/atau pengalaman rohani yang sedang dihadapi.  Namun, memilih untuk terus berperilaku demikian akhirnya membuat indera kepemimpinan menjadi tumpul.  Pemimpin ibadah hanya peduli pada selera pribadi tanpa memperhatikan pergumulan dan/atau kebutuhan jemaat.  Akibatnya, jemaat pun hanya memiliki pemahaman yang terbatas, sesuai dengan arahan pemimpin.  Jemaat tidak memiliki pemahaman yang luas dan mendalam, hanya karena pemimpin mereka memilih demikian.

Selain itu, kita sudah dapat menebak, bahwa perbendaharaan lagu dan musik jemaat tidak akan melebihi materi yang dimiliki oleh pemimpin ibadah.  Luasnya perbendaharaan musik jemaat akhirnya ditentukan oleh sempitnya keinginan pemimpin untuk bereksplorasi dan belajar dari berbagai sumber.  Ketika pemimpin ibadah menolak untuk keluar dari zona atau batasan seleranya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa jemaat akan memiliki selera yang serupa terbatasnya.

Kriteria Pemilihan Lagu untuk Nyanyian Jemaat

Fenomena yang telah dijelaskan sebenarnya mewakili pemahaman banyak gereja tentang nyanyian jemaat.  Pemahaman yang sempit, sehingga menyebabkan gereja meninggikan elemen tertentu tanpa melihat keseluruhan konteks dari nyanyian jemaat, akan berakibat negatif bagi perkembangan gereja.  Nyanyian jemaat merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari gereja dan merupakan jalan untuk penyegaran rohani secara intens dan rutin bagi jemaat[10].  Karena itu, penting untuk memahami elemen yang membentuk dan memberi identitas bagi nyanyian jemaat.  Pemahaman yang utuh dapat menolong gereja mengambil sikap yang tepat dalam proses seleksi, kompilasi, dan progresi nyanyian jemaat.

Dalam proses mengembangkan nyanyian jemaat bagi gereja setempat, perlu dipertimbangkan beberapa elemen kunci dan kriteria penentu yang dapat membantu gereja dalam pertumbuhan rohani jemaat[11].

Teologi.  Nyanyian jemaat, sesederhana apapun bentuknya, mengekspresikan dan meneruskan berbagai pemikiran teologi[12].  Seorang pakar dalam liturgika bahkan membuat sebuah metafora bahwa nyanyian jemaat merupakan makanan rohani bagi jemaat[13].  Identitas dan dasar teologi yang dipercaya sebuah jemaat dapat terlihat dari pemilihan dan pustaka nyanyian jemaat yang digunakan setiap hari Minggu.  Proses pertumbuhan pemahaman teologi jemaat dalam ekspresi nyanyian merupakan sebuah siklus yang berkesinambungan.  Jemaat menyatakan pemahaman mereka akan kebenaran melalui nyanyian, sebuah ekspresi komunal.  Kebenaran yang dinyanyikan ini menjadi sebuah penguatan dan pengajaran berulang yang kemudian diinternalisasi oleh jemaat.  Hasilnya, sebuah pokok pemahaman yang tidak mudah digoyahkan.

Ketika pemimpin memilih sebagian jenis nyanyian jemaat secara acak, tanpa sebuah pertimbangan matang, maka hasilnya juga adalah kumpulan pemahaman teologi yang tidak utuh dalam kehidupan berjemaat.  Pemilihan dan pengembangan ranah nyanyian jemaat perlu dipikirkan dengan bijak dan tepat.  Repertoar yang dipilih haruslah menjadi gambaran akan dasar pemikiran teologi yang dijunjung oleh Sinode GKKA INDONESIA.  Ketika pengajaran dan kebenaran ini disampaikan dan terus diulang melalui nyanyian jemaat, maka kita dapat mengharapkan terbentuknya jemaat yang memiliki dasar pemahaman teologi yang kokoh dan Alkitabiah.  Kita perlu mempertimbangkan dan menjadi yakin bahwa nyanyian jemaat dipilih bukan hanya karena populer atau enak didengar, tetapi pertama dan terutama karena mengandung pengajaran dan kebenaran yang kita yakini sesuai dengan firman Tuhan.

Liturgi.  Nyanyian jemaat memiliki peran yang penting dalam membentuk dialog antara jemaat dan Allah dalam ibadah korporat[14].  Lagu yang memiliki pengajaran teologi yang kokoh tidak akan berfungsi optimal, bila ditempatkan pada posisi yang kurang tepat dalam susunan liturgi sebuah kebaktian.  Kita perlu memahami bahwa sebuah kebaktian merupakan rangkaian dari pewahyuan Allah dan respons jemaat terhadap wahyu tersebut.  Jemaat perlu menyanyikan lagu yang menyatakan siapa Allah yang kita sembah, tetapi jemaat pun perlu mengungkapkan reaksi dan jawaban akan kebenaran yang disampaikan.  Dalam konteks kebaktian, jemaat perlu menyanyikan kedua jenis lagu tersebut dalam urutan yang telah diatur dengan pertimbangan yang saksama.

Selain itu, para pemimpin perlu mempertimbangkan dan mempelajari fungsi dari lagu yang dinyanyikan.  Lagu yang bersifat doa tentu kurang tepat bila dinyanyikan sebagai panggilan ibadah.  Lagu yang bersifat pujian dan sorak-sorai tidaklah cocok dinyanyikan dalam pengakuan dosa.  Begitu pula lagu yang mengantisipasi khotbah seharusnya tidak ditempatkan sebagai dedikasi dan persembahan.  Para pemimpin perlu memahami fungsi lagu dan menempatkannya dengan bijak, sehingga pesan kebenaran teologi dapat terus didengungkan sesuai dengan liturgi yang disusun apik.

Pastoral.  Nyanyian jemaat bukan hanya menyatakan kebenaran, tetapi haruslah dapat menyampaikan kisah Allah kepada jemaat secara pribadi[15].  Kita perlu mengakui bahwa ada banyak warisan nyanyian jemaat selama berabad-abad; namun kita perlu meneliti, bahwa tidak semua nyanyian jemaat tersebut dapat dipakai untuk melayani jemaat masa kini dengan pergumulan yang berbeda dengan para komposer dan penulis lirik di zaman mereka.  Para pemimpin perlu memahami perbedaan konteks dan kentalnya budaya lokal, sehingga dapat memilih nyanyian jemaat yang tepat bagi jemaat setempat.

Nyanyian jemaat merupakan bentuk ekspresi yang sarat makna budaya setempat[16].  Budaya dalam hal ini tidak hanya terbatas pada kesukuan dan/atau ras, tetapi mengacu pada gaya hidup dan kebiasaan setempat yang membentuk pola hidup jemaat.  Sebagai pemimpin, kita perlu memohon bimbingan Roh Kudus, agar dapat memilih nyanyian yang relevan bagi jemaat.  Nyanyian yang tepat dapat menjawab pergumulan mereka dan menyatakan siapa Allah yang berdaulat di dalam hidup mereka.  Nyanyian jemaat yang sehat menjadi suluh bagi perjalanan iman jemaat dalam mengikut Tuhan dan menjadi vitamin yang berguna dalam pertumbuhan kerohanian jemaat.

Musikal.  Nyanyian jemaat yang baik merupakan persandingan teks yang berbobot, dengan musik yang tepat, dan pesan teks dalam bentuk non-verbal yang selaras[17].  Melodi, harmoni dan irama sepatutnya membawa inti dari teks yang sedang dipresentasikan.  Hal ini akan menekankan sebuah pengalaman yang holistik; di mana jemaat yang menyanyikan lagu tersebut dapat menghayati kebenaran yang terkandung didalamnya dengan cara yang menyentuh kalbu.  Dengan demikian, maka kebenaran yang dinyanyikan memiliki efek ganda: efek kognisi melalui teks dan efek emosi melalui musik.

Selain itu, dalam persiapan dan presentasi, pemimpin ibadah ataupun pemusik perlu memikirkan aransemen yang segar, tetapi tidak bertentangan dengan teks.  Lagu yang bersifat doa refleksi tentu tidak tepat disajikan dalam tempo yang rancak, sekalipun dengan dasar memberi kesegaran pada lagu tersebut.  Lagu yang berisi tentang sorak sorai kepada Tuhan tidak dapat dinyanyikan secara mengalun.  Aransemen musik tidak dapat berdiri sendiri, pengerjaan sebuah musik haruslah seturut dengan pesan teks yang menjadi inti dari lagu tersebut.  Aspek musikal yang diciptakan oleh komposer haruslah mewujudnyatakan pesan teks dalam bentuk musik yang tepat, dan juga haruslah dipersiapkan secara matang dan bijak oleh para pemimpin ibadah atau pemusik.  Bila aspek musikal mendukung inti teks dengan tepat, maka nyanyian yang diekspresikan oleh jemaat menjadi sebuah kebenaran.  Kebenaran ini pertama-tama akan menusuk ke dalam hidup mereka dan kemudian menjadi sebuah kesaksian iman yang indah.

Sumber Lagu untuk Nyanyian Jemaat

Pemaparan di atas meyakinkan kita akan perlunya pertimbangan yang matang dalam proses seleksi dan eksekusi nyanyian dalam jemaat setempat.  Kita juga dapat memahami bahwa dengan berkembangnya nyanyian jemaat saat ini, sulit menemukan satu sumber acuan utama untuk digunakan badan gereja secara universal[18].  Tentu tidak mudah dan cenderung mustahil untuk menyatukan berbagai sumber yang telah ditulis selama ribuan tahun dalam satu sumber saja.  Selain itu, nyanyian jemaat terus ditulis dan tidak mungkin ekspresi iman ini dapat dihentikan oleh upaya manusia.  Selama karya tangan Tuhan dinyatakan, maka nyanyian jemaat akan terus berkembang menjadi kesaksian hidup akan Allah yang kita sembah.

Karena itu tidaklah gegabah bila kita menyimpulkan, bahwa sumber atau acuan nyanyian jemaat dapat datang dari berbagai sumber.  Tidaklah mungkin kita membatasi sumber nyanyian jemaat hanya pada satu buku untuk mewakili kekayaan nyanyian jemaat dalam sejarah gereja.  Kita dapat mengeksplorasi luasnya repertoar nyanyian iman kristiani, bahkan secara daring di ujung jari (penggunaan internet).  Tetapi penting bagi kita untuk memahami dan membentengi diri sesuai dengan pemahaman yang telah dijabarkan di atas.  Kita dapat memilih dari berbagai sumber, asal sesuai dengan kebenaran dan Firman yang kita yakini.  Kita dapat menyanyikan berbagai jenis lagu, asal sesuai dengan bahasa dan budaya jemaat setempat.  Kita dapat memperdengarkan keyakinan iman kita melalui nyanyian musikal, asal kita tidak berpaling dari tujuan utama: menyatakan kisah Allah yang luar biasa.


[1] Bagian yang diberikan pilihan, masih dapat bertambah sesuai dengan hasil diskusi dari perancang ibadah dengan Majelis Jemaat.

[2] Format Votum dan Salam:

Pemimpin:

  • (Votum): “Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. Ibadah kita pada saat ini ditahbiskan dalam nama Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” (Salam): “Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa kita dan Kristus Yesus, Tuhan kita, dan persekutuan Roh Kudus menyertai saudara.” (dengan satu tangan diangkat)

Jemaat:                                                                                                                                                                         

  • “Amin”

Format Votum mengikuti model Kebaktian Jemaat di Straszburd (1525) yang menggabungkan Mazmur 124:8 dengan Matius 28:19.  Sedangkan Salam merupakan gabungan dari 2Timotius 1:2 dan 2Korintus 13:13.  Salam merupakan tanda persekutuan, di mana dalam tradisi timur dilakukan dengan mengangkat satu tangan.  Jemaat kemudian akan meresponi dengan mengatakan “Amin.” J.L.Ch. Abineno, Unsur-unsur Liturgia: Yang Dipakai Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2014), 5-9.

[3] Tata Laksana GKKAI Pasal 7

[4] Format  Pengutusan

Pemimpin:

  • “Arahkanlah hatimu kepada Tuhan. Pergilah ke dalam dunia dengan damai.  Milikilah keberanian. Pertahankanlah apa yang baik.  Jangan lakukan yang jahat.  Hiburlah mereka yang tawar hati.  Kuatkanlah yang lemah.  Bantulah yang menderita.  Hormati semua orang.  Kasihi dan layanilah Tuhan.  Bersukacitalah dalam kuasa Roh Kudus.”

Jemaat:

  • “Amin”

Bagian “pergilah dst” dari pernyataan Pemimpin tercantum dalam Book Of Common Worship.  Penjabaran makna teologis setiap kalimatnya dapat dilihat pada tulisan Ronald P. Byars, What Language Shall I Borrow? (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2008), 163-179.

[5] Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding: An Introduction to Christian Hymnology, 2nd ed. (Nashville: Church Street Press, 1995), hal. 312.

[6] Ibid, hal. 320-324.

[7] John D. Witvliet, Worship Seeking Understanding: Windows into Christian Practice (Grand Rapids: Baker Academic, 2003), hal. 231.

[8] Brian Wren, Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), hal. 56-70.

[9] Notulen Rapat II Tim Revisi Liturgi GKKA Indonesia, 16-18 Mei 2017, hal. 3.

[10] John D. Witvliet, Worship Seeking Understanding: Windows into Christian Practice (Grand Rapids: Baker Academic, 2003), hal. 234.

[11] Notulen Rapat II Tim Revisi Liturgi GKKA Indonesia, 16-18 Mei 2017, hal. 3.

[12] Brian Wren, Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), hal. 355-356.

[13] John D. Witvliet, Worship Seeking Understanding: Windows into Christian Practice (Grand Rapids: Baker Academic, 2003), hal. 232-249.

[14] Constance M. Cherry, The Worship Architect: A Blueprint for Designing Culturally Relevant and Biblically Faithful Services (Grand Rapids: Baker Academic, 2010), hal. 186-191.

[15] Ibid, 192-193.

[16] John D. Witvliet, Worship Seeking Understanding: Windows into Christian Practice (Grand Rapids: Baker Academic, 2003), hal. 244-245.

[17] Brian Wren, Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), hal. 188.

[18] Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding: An Introduction to Christian Hymnology, 2nd ed. (Nashville: Church Street Press, 1995), hal. 320.