Oleh: Octavianus Gautama
Kita memulai pembicaraan kita di bagian pertama dengan sebuah prinsip bahwa ketika seseorang melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang kita harapkan, maka tercipta sebuah lubang. Lubang itu bisa diisi dengan rasa curiga ataupun rasa percaya.
Kita pun menciptakan sebuah kasus untuk melihat apakah prinsip ini bisa bertahan di tengah realita saat ini. Bagian pertama ditutup pertanyaan: Dengan apakah kita akan mengisi lubang yang tercipta ketika orang yang baru saja bertemu dengan anak kita ternyata tinggal dengan anggota keluarga yang positif terinfeksi Covid-19?
*
Bila kita mengisinya dengan rasa curiga, maka tanpa sadar, kita sedang mengatakan bahwa orang ini jahat. Ketika pikiran kita sudah menjadikannya sebagai sesosok karakter yang jahat, maka secara otomatis, kita akan lebih mudah untuk masuk dalam mode menyerang:
“Ia sudah tahu bahaya dari Covid-19, sudah mendengar imbauan pemerintah untuk karantina dan social distancing, tetapi ia dengan sengaja bertemu dengan anak kita. Ia ingin mencelakakan anak kita.”
Akan tetapi, bila kita memilih untuk mengisinya dengan rasa percaya, maka sebuah perasaan lain akan muncul. Penasaran, bukan asumsi. Kita mengisi lubang ini dengan rasa ingin tahu tentang apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkinkah dia belum betul-betul menyadari cara penularan Covid-19? Apakah yang membuat dia tetap bertemu dengan anak kita dengan taruhan yang begitu besar? Atau, mungkinkah ada pandangan lain yang selama ini belum kita pikirkan?
**
Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari rasa percaya dan rasa ingin tahu akan membangun sebuah jembatan emosi untuk dilewati sehingga kedua belah pihak bisa berkomunikasi dengan aman.
Di atas jembatan itu, kita bisa menegur dia ketika ia salah. Di atas jembatan itu, ia juga bisa menerima teguran kita tanpa perlu terlukai secara emosi.
Tidak semudah yang Anda pikirkan, bukan?
Ya, membangun budaya percaya adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit dan lebih berat daripada budaya curiga.
Budaya percaya memerlukan waktu, konsistensi, dan komitmen. Budaya percaya akan mengharuskan kita untuk “membayar” di depan sebelum menikmati hasilnya di kemudian hari.
***
Aplikasi untuk Ayah dan Ibu:
Bila kita ingin membangun keluarga yang dipenuhi oleh rasa percaya, maka kita perlu memberikan contoh kepada pasangan dan anak-anak kita secara konsisten. Marilah kita belajar untuk selalu merespons dengan rasa percaya.
Sulit? Sangat.
Worth it? Totally.
Related posts