Oleh: Pdt. Hengky Tjia

Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.(Habakuk 3:17-19)

Shalom saudara-saudara, saya senang bisa berjumpa dengan saudara meski kali ini mesti melalui teleibadah.  Untuk beberapa waktu tak  bisa beribadah di gedung gereja, karena risiko penyebaran virus Corona (Covid-19). Realitas ini menunjukkan kepada kita  ahwa sesungguhnya kehidupan kita hari-hari ini tidaklah semakin mudah.

Sadar tidak sadar, kemajuan zaman telah memanjakan hidup kita.  Hampir semua yang kita inginkan ada tersedia.  Hal ini bisa membuat kita hidup begitu mandiri, dan membuat kita seakan tak lagi membutuhkan  Tuhan.  Namun, sekarang di sini, kita hidup dalam ketakutan, oleh makhluk yang sangat kecil/mikro-organisme.  Namanya virus Corona.  Sebenarnya virus ini hanyalah parasit belaka dan untuk dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri, virus ini sangat bergantung pada sel hidup di tubuh manusia.  Namun, meski sangat kecil, dampak merusaknya sangat besar.  Sekolah-sekolah diliburkan, jadwal-jadwal pertemuan dihindari, dan gereja dikosongkan sementara waktu.  Kita menjadi tak berdaya.

Apa yang bisa kita lakukan, ketika rasanya tak ada yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?

Nabi Habakuk juga pernah merasakan beratnya pergumulan seperti yang kita rasakan hari ini.  Nabi Habakuk melayani di Yehuda menjelang direbutnya kota Yerusalem pada tahun 586 SM.  Pada masa itu orang-orang Israel hidup di dalam kejahatan dan penindasan. Empat rajaterakhir Kerajaan Yehuda, yaitu Raja Yoahas, Raja Yoyakim, Raja Yoyakhin, dan Raja Zedekia; adalah raja-raja yang jahat.  Mereka menolak Allah dan menindas rakyatnya.  Akibatnya, orang Yehuda hidup dalam ketidakadilan, ketakutan, penindasan, dan penyiksaan; Hukum taurat diselewengkan, mereka hidup dalam berbagai perbuatan amoral, mereka tidak lagi hidup kudus.

Jika kita perhatikan susunan kitab ini, maka kita   akan menemukan 3 percakapan antara Nabi Habakuk dengan Tuhan.  Mari kita melihat 3 percakapan itu  satu demi satu.

Dalam ps  1:2-3, Nabi Habakuk berseru: “Berapa lama lagi,  TUHAN, aku  berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku  berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?  Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman?  Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.”

Sebagai seorang nabi, dia merasa tidak berdaya.  Bangsa yang dilayaninya tidak menghiraukannya dan tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan.  Di dalam ketidakberdayaannya, nabi Habakuk juga merasa bahwa Tuhan kok diam saja, mengapa Tuhan tidak memberikan pertolongan?  Mengapa Tuhan tidak bertindak cepat untuk menghentikan kekejaman dan ketidakadilan di Yehuda?

Mengapa Tuhan diam saja?  Mengapa Tuhan tidak memberikan  pertolongan-Nya?  Nabi Habakuk juga merasa tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.  Pernahkah engkau merasakan hal yang sama, ketika engkau berusaha melakukan kebaikan atau sebuah pelayanan; namun kebaikanmu hanya dianggap sebagai angin lalu; pengorbananmu di dalam pelayanan seakan berlalu sia-sia.

Tetapi benarkah Tuhan diam saja?  Ternyata tidak!  Dalam pasal 1:5-11  Tuhan menjawab Habakuk, bahwa Dia akan memakai bangsa Babel untuk menghukum Yehuda. Saudara, mendengar jawaban Tuhan, nabi Habakuk tidak merasa puas.  Terjadilah percakapan yang kedua.

Di ayat 12-13, kembali Nabi Habakuk menyampaikan keluhannya. “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus?  Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.  Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?”

Dengan kata lain, mengapa Tuhan menghukum kejahatan Yehuda dengan memakai bangsa yang jauh lebih jahat, yaitu bangsa Babel?  Bagi  Habakuk, ini  adalah jalan keluar yang lebih buruk daripada kejahatan Yehuda, sebab perilaku orang Babel jauh lebih buruk daripada perilaku orang Yehuda dan  para  pemimpinnya.

Pernahkah saudara merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh Nabi Habakuk?  Kita merasa, kok  Tuhan menjawab tidak seperti yang aku doakan?  Kenapa, ketika aku bersandar kepada Tuhan mencari jawab kepada-Nya, persoalan justru kelihatan semakin besar?  Seperti mungkin hari ini engkau merasa doamu tidak dijawab Tuhan; Atau jawaban Tuhan tidak seperti yang engkau harapkan.

Lalu apa yang harus kita lakukan?  Apakah kita  akan bersungut-sungut seperti orang Israel di padang gurun? Apakah kita akan meninggalkan Tuhan karena jawaban-Nya tidak sesuai dengan  harapan kita?  Sebelum bersungut, mari kita perlu melihat jawaban Tuhan dulu. 

Di pasal 2:4 Tuhan menjawab nabi Habakuk demikian: “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.”  Tuhan tidak menjawab dengan memuaskan pertanyaan Habakuk, tentang mengapa Dia  memakai bangsa Babel.  Tuhan menjawab justru dengan sebuah pernyataan, dan dengan pernyataan itu Tuhan membalikkan posisi Habakuk, dari “Penanya” (Subjek) menjadi “Penjawab” (Objek). Tuhan tidak bisa kita dikte, Dia adalah Allah yang berdaulat.  Tuhan tidak harus menjawab apa  yang kita inginkan. Kini Habakuk-lah yang harus menentukan sikap dan menjawab pernyataan dari Tuhan.

Jawaban Allah juga menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan yang adil.  Orang Babel boleh saja menghukum Yehuda, namun Babel akhirnya juga akan jatuh, sebab para pemimpinnya mendewakan kekuatan mereka sendiri (2:6-20).  Di sini Allah mau menunjukkan bahwa kedaulatan-Nya/kekuasaan-Nya jauh lebih besar daripada kekuasaan negara super power sekalipun.

Selanjutnya Habakuk menunjukkan bahwa Allah yang berdaulat itu  adalah juga Allah yang beranugerah “tetapi orang yang  benar itu akan hidup oleh percayanya.” Bahwa kita dibenarkan bukan berdasarkan kesalehan perbuatan kita;  tetapi oleh anugerah Allah di dalam percaya kepada-Nya. Iman kita akan diuji melalui saat-saat yang sulit.

Firman Tuhan dalam Yesaya  55:8-9 berbunyi:  “Sebab  rancangan-Ku bukanlah rancanganmu,  dan   jalanmu  bukanlah jalan-Ku,  demikianlah firman  TUHAN.  Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.  Ketika jawaban Tuhan tidak seperti yang kita harapkan, firman Tuhan mengajak kita percaya pada kedaulatan-Nya, percaya akan keadilan-Nya, percaya akan kasih-Nya dan anugerah-Nya.”

Di sini kita diingatkan agar tidak sombong.  Kita ada hanya karena belas  kasihan Tuhan.  Hanya orang yang menyadari dirinya ada  oleh anugerah Tuhanlah, yang bisa bersyukur bukan bersungut.  Kita membutuhkan kasih sayang Tuhan.

Habakuk melantunkan pujiannya yang dicatat pada pasal 3:17-19  “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur  tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan  makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.  ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.”

Pohon ara, pohon anggur, dan pohon zaitun merupakan sumber-sumber yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Yahudi.  Ketiadaan hasil-hasilnya dipandang sebagai tanda hukuman Allah atas ketidaktaan.Bagi Habakuk kini,  meski hukuman menyengsarakan umat Allah,  Tuhan tidak akan meninggalkan umat-Nya.  Hal  yang terpenting bagi Habakuk sekarang bukanlah semua hasil kebunnya, tapi memiliki Allah itulah yang menguatkan kita.  Meski sempat mempertanyakan Allah,  Habakuk tidak lagi meragukan kemampuan Allah untuk menyelamatkan.  Di sini kita belajar.  Mungkin kita  tidak bisa merubah yang di luar kita, tetapi kita bisa merubah cara  pandang kita.

Sebagai kesimpulan.  Dari Nabi Habakuk kita diingatkan beberapa hal yang penting:

Pertama, tetap percaya bahwa Allah masih mengasihi kita.  Memang Allah membenci dosa, tapi Dia mengasihi si Pendosa.  Dia menghukum umat-Nya yang berdosa, tapi Dia juga menyelamatkan umat-Nya. Bagi kita gereja masa kini, kita tahu bahwa ada anugerah yang lebih besar yang sudah dinyatakan Allah kepada kita sebagai bukti kasih-Nya kepada kita.  Anugerah itu diberikan Allah kepada kita melalui Yesus Kristus, yang rela mati di kayu salib karena kita dan untuk menebus kita dari hukuman dosa.

Kedua, tetap percaya bahwa Allah memegang akan hari esok kita.  Allah memegang masa depan umat-Nya, termasuk kita yang hidup pada zaman sekarang.  Dia bukan hanya berdaulat dan  berkuasa atas negara superpower yang bernama Babel.  Lebih daripada itu, melalui kebangkitan Yesus dari kematian, kita tahu bahwa Allah kita juga berkuasa atas Kerajaan Maut.  Sebab Yesus bangkit dan hidup, kita ada hari esok yang cerah.  Meski saat ini langit yang cerah itu tertutupi oleh awan wabah Corona.  Kita percaya badai ini akan berlalu, dan Kristus akan tampil sebagai pemenang.

Ketiga, melayani Allah, melayani umat-Nya.  Nabi  Habakuk juga peduli akan nasib bangsanya.  Nabi  Habakuk bukan hanya memohon  belas kasihan Tuhan atas Israel, lebih daripada itu, dia hadir bersama umat dan melayani umat Israel.  Habakuk menaruh percayanya, bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya.  Dia mengungkapkan iman percayanya itu dengan berseru dalam doanya: “Engkau berjalan maju untuk menyelamatkan umat-Mu”  (3:13). 

Bagaimana dengan kita?  Adakah kita juga peduli kepada orang-orang di sekitar kita?  Mereka yang terpapar dan  terkapar akibat Covid-19.  Mereka yang berjuang habis-habisan di garda terdepan.  Sudahkah kita berdoa untuk mereka?  Sudah kita ikut mendukung upaya pemerintah mengatasi wabah ini, dengan upaya maksimal kita?  Kiranya Tuhan memberkati kita dan memulihkan negeri kita.