Penulis: Pdt. Lukas Tjandra

Editor: Pdt. Hengky Tjia

Zhu Xinwen (朱醒魂) lahir pada tahun 1890. Ayahnya adalah seorang pedagang toko perhiasan di kota Shi Mei, propinsi Kwang Chou. Beliau bertobat dan dibaptis pada usia 17 tahun di sebuah gereja Presbiterian. Keputusannya menjadi pengikut Yesus mendapat tentangan yang keras dari ayahnya, yang kemudian mengusirnya dari rumah. Zhu Xinwen pun terpaksa bernaung di rumah bibinya, dan mencari nafkah dengan berjualan layangan. Seorang dokter di Gereja Presbyterian, bernama Dokter Fu, bersimpatik kepada Zhu Xinwen. Dokter Fu menawarkan kepada Zhu Xinwen untuk studi di Amerika. Atas rekomendasi Dokter Fu, Zhu Xinwen dapat menempuh studi kedokteran selama 2 tahun di Sekolah Kedokteran Jou Chi, di propinsi Guangxi.

Kerinduan Zhu Xinwen untuk memahsyurkan Injil Tuhan, membuatnya mengambil keputusan untuk masuk Sekolah Alkitab Jian Dao di kota Ik Chou, propinsi Guangxi. Zhu Xinwen lulus dari Sekolah Alkitab Cien Tau pada tahun 1917. Beliau kemudian melayani sebagai Guru Injil di Sekolah Alkitab Cien Tau, dan juga melayani di gereja Presbiterian.

Zhu Xinwen adalah rekan sekerja dari Robert Jaffray. Sekitar tahun 1898, Jaffray mengunjungi Vietnam dan merekrut orang untuk mengembangkan pelayanan gerejawi. Jaffray sendiri pernah memimpin beberapa KKR di Vietnam. Ketika Jaffray memaparkan kebutuhan orang Vietnam akan Injil, Zhu Xinwen dengan hormat dan gentar menjawab “Ya Tuhan, hamba ada di sini, utuslah aku.” Zhu Xinwen kembali mengambil keputusan yang sangat penting dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang kembali ditentang oleh keluarga terdekatnya, bahkan Iblis pun berupaya untuk mencobai dan menggagalkan keputusan itu.

Syukur kepada Tuhan, Beliau dapat melewati segala rintangan tersebut dan berhasil pergi ke Vietnam. Zhu Xinwen adalah misionaris pertama yang di utus oleh lembaga misi The Chinese Foreign Missionary Union (CFMU). Beliau diutus ke Vietnam pada tahun 1921. Pada masa itu Vietnam merupakan negeri jajahan Perancis. Pemerintah Perancis melarang misionaris Kristen mengabarkan Injil tanpa izin. Menanggapi kondisi waktu itu, Pendeta Zhu Xinwen mengarahkan pelayanannya kepada masyarakat Tionghoa. Beliau mengajak orang-orang Tionghoa mengadakan kebaktian rumah tangga.

Pelayanan ini juga harus berhenti akibat larangan pemerintah Perancis. Namun Zhu Xinwen tak menjadi patah arang. Bersama dengan Robert Jaffray, mereka berdoa dan mengupayakan agar larangan ini di cabut. Robert Jaffray pun menghadap pemerintah Perancis, dan berkat pertolongan Tuhan, mereka diizinkan untuk membuka sebuah gereja yang khusus menginjili orang-orang Tionghoa.

Puji Tuhan, pada tahun 1922, beberapa saudara mengambil keputusan menerima Yesus sebagai Juruselamat dan dibaptiskan. Zhu Xinwen juga membuka Sekolah Injil bagi kamu wanita, dan juga membentuk kepengurusan majelis gereja. perekonmian yang sulit di Vietnam, tidak menjadi penghalang bagi Zhu Xinwen untuk tetap melayani jemaat Tuhan dengan setia.

Setelah melayani selama 7 tahun di Vietnam, Lembaga Misi CFMU mengutus Zhu Xinwen ke Makassar. Zhu Xinwen pun berangkat ke Makassar, setelah singgah di kota Kwang Chou menitipkan istri dan anak-anaknya di sana. Mereka tiba di Kwang Chou pada bulan April 1927. Di kota Makassar, Zhu Xinwen harus beradaptasi dengan tempat yang asing dan bahasa yang baru. Beliau menumpang di toko seorang Tionghoa, yang kamarnya hanya seukuran satu tempat tidur saja. Beliau juga di awasi oleh pemerintah Belanda, yang mencurigai pertemuan orang banyak sebagai aktifitas politik.

Pada akhir bulan April 1928, Zhu Xinwen membawa istri dan lima orang anaknya ke Makassar. Bersama keluarga Zhu Xinwen melakukan pelayanan pemberitaan Injil dari rumah ke rumah. Di awal pelayanannya, Zhu Xinwen mengajak 7 orang Kristen yang berasal dari Tiongkok untuk beribadah bersama-sama. Di antara mereka ada Tuan Sie Chie Ching, Siek Ya Chi, dan Nyonya Chang Yek Cho. Mereka meminjam gedung gereja orang Belanda. Gedung ini berkapasitas 600 orang. Mereka beribadah setelah jemaat gereja itu usai beribadah, namun gedung itu terasa terlalu besar dengan jumlah mereka yang masih terlalu sedikit.

Pada tahun 1929, Zhu Xinwen menyewa sebuah rumah kecil di jalan Banda untuk di jadikan rumah ibadah. Namun beberapa bulan kemudian, rumah ini sudah tidak dapat menampung lebih dari 10 orang jemaat. Zhu Xinwen bersama dengan kedua Tuan Siek bersepakat untuk menyewa sebuah rumah di jalan Lembeh sebagai ruang kebaktian. Di tahun yang sama, Zhu Xinwen mencari tempat yang lebih layak untuk beribadah, dan menyewa sebuah rumah di jalan Timor yang berhadapan dengan jalan Bacan.

Ada waktu di masa-masa itu di mana biaya operasional gereja terasa sangat berat. Puji Tuhan, gereja mendapatkan Alkitab dari Lembaga Alkitab Indonesia dengan cuma-cuma, di mana hasil penjualannya boleh digunakan untuk kebutuhan gereja. Penjualan Alkitab ini, telah ikut membantu Zhu Xinwen dalam menutup biaya operasional gereja.

Di dalam pelayanan, Zhu Xinwen juga mengalami hal-hal yang mendukakan hatinya. Beberapa orang yang di bimbing oleh Zhu Xinwen hidup dalam perilaku yang tidak baik. Ketika Zhu Xinwen berusaha menasihati mereka, mereka bukan saja menolak nasihatnya, mereka malah memusuhi Zhu Xinwen, bahkan merusak pelayanan gereja. Aklibatnya orang-orang yang belum percaya enggan untuk datang ke gereja.

Suatu ketika Zhu Xinwen mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani, namun tidak satu pun yang datang. Pernah juga terjadi Kebaktian Umum hanya dihadiri 4 orang saja. Kondisi ini juga diperparah dengan kondisi politik dunia yang tidak aman pada tahun 1933, yang berakibat dipotongnya honor Zhu Xinwen, sehingga beliau bersama keluarganya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Namun syukur kepada Tuhan, beratnya tantangan tidak membuat iman Zhu Xinwen menjadi goyah. Beliau tetap gigih melayani tanpa pamrih. Setelah tujuh tahun masa sulit itu, Tuhan menambahkan jumlah orang-orang percaya. Puji Tuhan jemaat pun sanggup menunjang kehidupan keluarga pendetanya.

Pada tahun 1933, istri Zhu Xinwen mengalami kesulitan bersalin yang dan kesehatannya terus menurun. Nyonya Zhu Xinwen waktu itu tidak berdaya untuk merawat anak-anak. dapat membantu pelayanan suami. Atas ijin dari Robert Jaffray, Ny Choe kembali ke Tiongkok. Zhu Xinwen mendapat cuti setahun pada tahun 1935 dan berkumpul bersama keluarga di Tiongkok. Pada bulan Januari 1936 Zhu Xinwen kembali ke Makassar. Beliau kemudian di utus ke Pulau Butung dan Laha untuk meninjau pembukaan ladang-ladang pelayanan yang baru. Setelah itu Zhu Xinwen ke kota Bima di pulau Sumbawa.

Pada tahun 1938, Nyonya Choe membawa anak-anaknya kembali ke Indonesia, waktu itu Zhu Xinwen berada di kota Bima, di pulau Sumbawa. Pada tahun 1940 Ny Choe kembali sedang hamil kembali menderita sakit. Ketika saat persalinan semakin mendekat, Ny. Choe di bawa ke Makassar. Pada tahun 1941 Jepang menjajah Indonesia. Ketika pasukan Jepang tiba di Bima, mereka ke gereja untuk menangkap Zhu Xinwen dengan tuduhan mata-mata orang Amerika. Namun Tuhan telah melepaskan hamba-Nya. Dua minggu sebelum peristiwa itu Zhu Xinwen telah menumpang sebuah kapal menuju ke Makassar dan bertemu dengan keluarganya.

Zhu Xinwen, yang fasih berbahasa Indonesia, juga melayani di Kalimantan Selatan selama beberapa tahun lamanya. Kadangkala ia masuk ke daerah pedalaman. Beliau sering tersesat di hutan, ancaman maut selalu mengintai. Namun Zhu Xinwen tetap setia memahsyurkan Injil Kristus. Melalui hamba Tuhan ini, orang-orang di pedalaman bisa mendengarkan Injil. Tanda-tanda yang ajaib menyertai pelayanan Zhu Xinwen. Melalui doanya, orang sakit disembuhkan, orang yang dirasuk setan dipulihkan. Akibatnya, ada kepala suku dan penduduk setempat yang beriman kepada Tuhan. Mereka menerima baptisan di tepi sungai, dan jumlahnya sangat banyak.

Seusai perang pada tahun 1947, Zhu Xinwen diutus untuk melayani di Tarakan, Kalimantan Selatan. Masa itu sebenarnya Zhu Xinwen sudah emeritus (pensiun). Namun berhubung belum ada orang yang mengisi tugas pelayanannya, maka Beliau tetap setia melayani sampai tahun 1959. Suatu malam di tahun 1959, seusai kebaktian malam, Zhu Xinwen tiba-tiba mengalami stroke, dan dia harus berbaring di tempat tidur. Di pembaringannya tidak secuil pun sungutan keluar dari mulutnya. Beliau ingin berjumpa dengan putra sulungnya, David Chu Kin Kee, yang seorang Pendeta di Gereja Lok Tau, Hong Kong

Hal yang menyedihkan ialah honor pensiun Zhu Xinwen bahkan tidak cukup untuk membeli selembar tiket perahu. Akhirnya beliau menjual semua perabot rumah demi keperluan ini. akhirnya pada tahun 1960, di usianya yang ke-70 tahun beliau bersama dengan keluarga menumpang kapal dari Tarakan menuju ke Hongkong.

Zhu Xinwen berobat di Tai Pei. Beliau tetap berdoa dan berpuasa dua hari dalam seminggu. Beliau memohon kesembuhan dari Tuhan, agar dapat kembali ke pedalaman Kalimantan untuk melayani. Puji Tuhan karena Dia tidak meninggalkan hamba-Nya di usia lanjut. Choe Sing Huen dapat menjalani hari lepas hari dengan tetap beriman kepada Tuhan, bahkan hatinya dihiburkan oleh banyaknya dukungan dan perhatian saudara-saudara seiman.

Pada musim gugur 1963, penyakit Choe Sing Huen kambuh lagi, dia menjadi kurus dan tanpa daya. Segala penyakit dan penderitaan manusia sudah berpadu di tubuhnya yang renta. Namun beliau tetap memiliki sukacita surgawi. Menjelang ajalnya tiba, Beliau masih sempat berpesan kepada istrinya untuk menggantikan pakaiannya. Dia ingin menghadap Tuhan dengan pakaian yang rapi dan bersih. Pada tanggal 4 Desember 1963, di Tai Pei, Zhu Xinwen berhenti dari semua jerih lelah pelayanannya dan kembali ke rumah Bapa di surga. Zhu Xinwen telah dikaruniai seorang istri yang setia mendampinginya, yaitu Nyonya Chang Ik Sen. Beliau juga telah dikaruniai 4 orang putera dan 6 orang puteri; yang juga menjadi Tuhan menjadi alat kemuliaan-Nya.

Sebelum meninggal, ada sebuah pesan yang dititipkan Zhu Xinwen kepada anak-anaknya: “Aku telah memperoleh Yesus Kristus sebagai yang paling berharga, kini Papa menyerahkan Yesus yang berharga ini kepadamu. Perkenalkanlah Yesus kepada orang banyak. Injil yang kita peroleh dengan cuma-cuma, sudah sewajarnya kita bagikan kepada orang lain dengan cuma-cuma. ” Sebuah pesan yang masih relevan bagi kita hari ini, yang telah menerima anugerah keselamatan Yesus Kristus.

Di sadur dari: Lukas Tjandra dan Jenny Wongka, Sejarah 70 tahun CFMU [The Chinese Foreign Missionary Union] 1929-1999 (Surabaya: Sinode GKKA Indonesia, 1999)

Lihat juga: Kim-kwong Chan, The Indigenous Mission Movement from China: A Historical Review. https://www.chinasource.org/resource-library/articles/the-indigenous-mission-movement-from-china-a-historical-review. Diakses 15 April 2020, pukul 19.30 WIB.