Oleh: Pdt. Tjia Ing Kie

Manakala manusia bisa melihat segala sesuatu sebagai sampah, barulah ia dapat dengan sukarela mempersembahkan dirinya sebagai korban hidup bagi Tuhan. -Tse Ying Kwang.

Masa Kanak-kanak dan Remaja

Tse Ying Kwang lahir pada tanggal 20 September 1905 dari keluarga petani yang miskin. Pada masa itu ayah dan ibunya belumlah percaya kepada Tuhan. Mereka takut anaknya tidak dapat bertumbuh sehat, itu sebabnya mereka persembahkan anak ini kepada penunggu (dewa) pohon aras besar, dengan harapan dewa tersebut akan melindungi anaknya. Bahkan nama yang diberikan kepadanya pun: Yong Kwang (artinya: selebar pohon aras). Ketika Tse Pada berusia 18 tahun, pamannya menggantikan namanya menjadi: Ying Kwang (artinya: pahlawan yang besar).

Tahun 1912 bersama sang ayah (Tse Kwang Siau), Ying Kwang menerima baptisan kudus. Tahun 1918 sang ibu menyekolahkannya di sekolah menengah Kristen Kwang Chou, yang juga mengajarkan pelajaran Alkitab di bawah bimbingan Pdt. Wu Che Kuen dan Pdt. Hwang Yen Su. Melalui sekolah inilah Ying Kwang mengenal Kristus. Pada tahun 1921 ibunya menderita penyakit kolera dan meninggal dunia. Ayahnya bermaksud memboyong ketiga putera-puterinya pindah ke desa. Ketika pamannya mendengar berita ini, dia menasehati sang ayah mengizinkan Ying Kwang melanjutkan studinya di Kwang Chou. Atas pertolongan Tuhan Ying Kwang bukan saja dapat studi tapi juga dapat bekerja sambil studi.

Pada tahun 1925 Gereja Kristen Po Tau mengadakan retreat untuk para siswa sekolah menengah mereka. Pembicaranya antara lain: Hwang Yen Su, dosen Sekolah Teologi Cien Tau di Ik Chou. Dalam retreat ini pula, Ying Kwang digerakkan oleh Roh Kudus untuk menyerahkan diri sepenuhnya bagi pelayanan Tuhan. Dalam retreat itu, Ying Kwang menyatakan niatnya ini kepada Pdt. Hwang Yen Su, mohon petunjuk untuk dipersiapkan di Sekolah Teologi. Pdt. Hwang mengatakan bahwa siapa yang mau melayani Tuhan harus siap untuk menderita. Bagi Ying Kwang itu adalah hal yang indah, dan dengan sukarela ia berserah kepada Tuhan. Keduanya pun berlutut dan berdoa, mohon Tuhan menggenapi kehendak-Nya. Tanggal 06 Maret 1927 Ying Kwang menyerahkan dirinya kepada Tuhan di aula Sekolah Alkitab. Upacara penyerahan diri ini diteguhkan oleh Pdt. Chau Liu Than dan Pdt. Hwang Yen Su. Sejak saat itu, Ying Kwang dengan penuh sukacita menempuh jalan persembahan diri.

Masa Awal Pelayanan

Selama masa studi di sekolah teologi, Ying Kwang pernah melayani jemaat di Gereja Kristen Po Tau, Propinsi Kwang Tong, dan menjabat sebagai penginjil selama satu tahun (1928) . “Berita Po Tau” merupakan terbitan bacaan rohani pertama yang ditangani Beliau. Ying Kwang juga pernah melakukan penginjilan di atas Kapal Chen Kwang.

Pada tanggal 24 Juni 1932 Ying Kwang lulus dari Sekolah Teologi, kemudian melayani selama 3 tahun di Gereja Kristen Tha Sha Thou, Propinsi Kwang Chou. Pada bulan Agustus Beliau menikah dengan Ev. Ho Tau Chen. Keduanya sehati melayani Tuhan hingga September tahun 1935 meninggalkan gereja tersebut. Mereka lalu kembali ke Gereja Thong Chuan, melayani selama dua tahun.

Perang berkecamuk pada tahun 1937, pasukan Jepang menyerbu Tiongkok, sehingga hati penduduk diliputi kecemasan. Dalam kondisi seperti ini, mereka hanya hidup dengan bersandar kepada perlindungan Tuhan semata. Dalam bulan Agustus di musim gugur, di luar dugaan Ying Kwang menerima telegram dari Ketua CFMU Leland Wong dan Pdt. Jaffray. Berita telegram antara lain: “Segera berangkat menuju Makassar!”

Beban penginjilan ke kawasan selatan Tiongkok sudah lama tersimpan dalam hati Ying Kwang. Ketika membaca telegram itu, seketika dia merasa segala impiannya untuk menjalankan amanat agung akan segera terlaksana. Setelah segala pengurusan surat untuk keberangkatan beres, di pagi hari awal musim dingin, tepatnya 28 September 1937, Ying Kwang sekeluarga (isteri dan puteri sulung) menumpang sebuah kapal dari Hong Kong menuju Makassar. Atas perlindungan Tuhan, 8 Oktober 1937 mereka tiba dengan selamat di Makassar-sebuah kota dengan cuaca yang amat panas.

Menggembalakan Jemaat Kristen di Makassar

Ev. Tse Ying Kwang ditahbiskan sebagai pendeta oleh Pdt. Robert jaffray pada tanggal 02 November 1937 di kota Makassar. Sejak itu Pendeta Tse Ying Kwang melayani dengan segenap hatinya. Pendeta Tse menyewa sebuah rumah untuk mengadakan kebaktian. Respon orang-orang pada waktu itu sangatlah dingin. Banyak orang yang masih mengeraskan hati terhadap Injil. Pelayanan gereja pun diperhadapkan dengan berbagai kesulitan. Namun Pendeta Tse pantang menyerah, dia tetap berusaha keras. Setahun kemudian nampak sedikit kemajuan. Gereja sudah mempunyai paduan suara, Sekolah Minggu dan Sekolah Kristen Zion. Bahkan gereja dapat menerbitkan buletin bulanan “Zion.” Beberapa tahun kemudian, murid Sekolah Minggu dari 20-30 orang bertambah hingga mencapai lebih dari 100 orang.

Perang Pasifik pecah pada tahun 1941, sehingga penduduk terpaksa mengungsi ke desa Pakatto, kira-kira 24 Km dari kota Makassar. Rumah sewaan gereja dikembalikan kepada pemiliknya; sumber bantuan untuk gereja terputus sama sekali. Biaya hidup untuk penginjil selama empat bulan terhenti sama sekali. Kendatipun demikian, Pendeta Tse tetap setia mengabarkan Injil Tuhan.

Pada tanggal 8 Februari 1942, tatkala pasukan Jepang mendarat di Makassar, para pengungsi perang pun kembali ke kota. Saat itu gereja masih tidak mempunyai rumah, Pendeta Tse meminjam satu ruang kelas Sekolah Alkitab sebagai tempat ibadah Minggu. Jemaat yang hadir dalam kebaktian Minggu antara 4-6 orang. Trauma akibat perang masih mencekam manusia. Ditambah lagi dengan letak tempat berbakti ini jauh dari komunita orang Tionghoa, sehingga jumlah orang yang hadir sangat kurang.

Sebulan kemudian, di dalam kota Pendeta Tse berhasil menyewa satu tempat untuk ruang ibadah. Jumlah yang hadir mulai bertambah. Di luar dugaan, pada tanggal 23 Juni 1944 kota Makassar menghadapi serangan bom pertama kali dari pasukan sekutu. Penduduk mengungsi ke luar kota lagi, untuk memudahkan pelayanan, Tse membawa keluarga pindah ke desa Pakatto.

Para Rekan yang Tuhan Sediakan

Selain isterinya, Tuhan juga mengaruniakan Pendeta Tse beberapa putera-puteri yang setia dan mengasihi Tuhan. Putera sulung, Dr. Robert Sutjiadi memangku jabatan penting dalam kemajelisan gereja dalam beberapa periode. Pdt. Santoso Iman (alm,menantu Beliau) pernah menggembalakan jemaat selama beberapa tahun, kemudian pindah ke Amerika serta tetap setia melayani Tuhan. Selain itu, Tuhan juga menyediakan beberapa rekan yang tangguh, yang pernah disaksikan oleh Pdt. Tse dalam buletin khusus perayaan HUT Gereja yang ke-50.

Tuan Lie Chuk Hui sebagai wakil duta besar di Makassar. Beliau seorang Hokkian, sejak kakeknya keluarga mereka sudah menjadi Kristen. Beliau seorang yang rendah hati dan ramah, kehidupan rohani yang baik dan melayani dengan setia. Secara resmi Beliau menjadi anggota jemaat pada tahun 1938. Sejak tahun 1939 Beliau diangkat sebagai majelis gereja. Beliau turut berusaha mengembangkan pelayanan gereja; sebagai penerjemah bahasa Hokkian dalam Kebaktian Minggu. Isteri Beliau turut aktif melayani. Tuhan telah memakai mereka mendatangkan kemajuan dalam pelayanan gereja kami.

Tuan Tho Phek Lim menderita sakit akibat tumor dalam perut, pengobatan tradisional Tionghoa dan para dokter tidak membawa kesembuhan. Kemudian, dengan iman Beliau disembuhkan melalui doa. Beliau menerima baptisan kudus, iman Beliau semakin bertumbuh setelah kesembuhan ini. Terlebih pula, setelah percaya kepada Tuhan, Beliau giat bersaksi bagi Tuhan. Usaha dagangnya pun semakin maju.

Tuan Wu Thian Song selama lebih dari duapuluh tahun menjalankan praktek dukun untuk menyembuhkan orang sakit. Ada orang datang untuk meminta petunjuk atau menanyakan nasib dan seterusnya. Beliau menerima pemasukan uang yang cukup banyak melalui praktek dukun ini. Kemudian, melalui kesaksian Tuan Tho Phek Ling, Beliau dibawa kepada pengenalan akan Tuhan. Sungguh, hanya anugerah Tuhan saja yang memungkinkan seorang dukun untuk percaya kepada Tuhan! Tuan Wu dan nyonya menerima baptisan kudus pada tanggal 26 Nopember 1939. Putera dan mantunya pun kemudian menerima baptisan kudus. Mereka mendapat serangan yang besar dari orang-orang yang tahayul, namun iman mereka untuk percaya kepada Tuhan tetap tidak tergoyahkan. Mereka berani bersaksi bagi Tuhan, sehingga nama Tuhan dimahsyurkan pula dalam lingkup kehidupan mereka.

Tuan Chiu Ik Ting seorang yang sangat keras hati. Ia pernah mengusir seorang penginjil berhubung menolak kebenaran yang dikabarkan kepadanya. Ia pernah berkata: “Di kala damai saya tidak mau percaya Tuhan, saat sakit saya baru ingin percaya . . ” Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Suatu ketika Tuan Chiu menderita sakit, dan pada masa-masa itu Beliau menyaksikan penglihatan Tuhan. Pada waktu itu, walaupun ia masih dalam kondisi sakit, namun dia berkata kepada anggota keluarganya: “Setelah saya sembuh dari sakit, saya mau menerima baptisan kudus di gereja.” Luar biasa, Beliau sungguh disembuhkan Tuhan. Beliau menerima baptisan kudus pada tanggal 27 Oktober 1940. Beliau giat bersaksi bagi Tuhan. Toko Beliau dipakai sebagai tempat kebaktian untuk Pos Penginjilan gereja. Setiap hari Selasa dan Rabu malam mengadakan kebaktian di tokonya, Beliau menyaksikan perbuatan Tuhan yang ajaib atas keluarganya.

Pada saat Gereja di Makassar didirikan, orang percaya kebanyakan dari suku Kanton, sedangkan orang suku Hok Kian sangat sedikit jumlahnya. Namun, sejak tahun 1938, Pdt. Ho Liang (dari suku Hokkian) menjadi rekan kerja Pendeta Tse. Tuhan memakai Beliau untuk membawa Tuan Liem Che Chuan sekeluarga, Tuan Tho Phek Ling serta Sdri. Lie Hui Chen. Mereka semuanya ini dari suku Hok Kian percaya kepada Tuhan. Hal ini kemudian mendorong Tuan Chen Tong Yen, Lie Chuk Huai berpartisipasi dalam pelayanan Pendeta Tse, sehingga banyak orang dimenangkan kepada Tuhan.

Di antara jemaat terdapat juga sejumlah orang Tionghoa keturunan, sehingga untuk pengembangan pelayanan gereja; mereka tidak boleh diabaikan. Maka itu, sejak tahun 1941 dalam kebaktian umum malam hari, kami mengadakan kebaktian dalam bahasa Indonesia. Puji Tuhan! Dalam rentang waktu yang relatif singkat saja, terdapat sejumlah 20 hingga 30-an orang percaya kepada Tuhan. Pada waktu itu, dalam benak penulis tidak ada seorang Hainam pun yang percaya kepada Tuhan. Puji Tuhan! Sebab Ia sendiri bekerja dengan heran, sehingga kami pun merasa heran dengan beberapa kejadian berikut.

Pada suatu hari tuan Oei Yong Lok, seorang Hainam jatuh sakit dan usaha pengobatan gagal, bahkan kedua matanya kehilangan penglihatan pula. Seisi keluarganya menjadi gelisah dan sedih. Tatkala tuan Tho Phik Lim singgah di toko mereka, sekaligus menyaksikan Tuhan Yesus kepada mereka. Tuan Tho mengundang Pdt. Tse datang serta mendoakan tuan Oei. Beberapa hari kemudian, tuan Oei peroleh kesembuhan total. Tuan Oei merasa tidak perlu untuk beribadah kepada Tuhan di gereja, maka setiap kali bila tuan Tho datang ke rumahnya, ia selalu menghindari untuk bertemu muka. Kemudian, dalam satu minggu itu, Tuhan mengambil putera kembar mereka. Di tengah rasa sedih dan sepi tuan dan nyonya Oei, kedatangan dan perhatian saudara-saudara seiman dari gereja dirasakan mereka sangat memberikan penghiburan bagi mereka. Akhirnya, pada tanggal 29 Juni 1941, Beliau menerima baptisan kudus serta giat melayani Tuhan.

Isteri dari Tuan Chang Yek Lim, seorang Hai Nam selalu diusik oleh setan, bahkan hampir tiap saat bergumul dengan setan. Akibatnya, seisi keluarga tidak pemah sanggup untuk tidur dengan baik. Pada suatu hari, tuan Oei mengunjungi keluarga Chang, serta menyaksikan pengalaman keselamatan Tuhan atas dirinya, sekaligus mengundang tuan Chang untuk berbakti di gereja. Hati tuan Chang diliputi dengan kedamaian Tuhan disaat berbakti di gereja, bahkan Beliau juga mengajak isterinya untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan sehati, saudara-saudara seiman mendoakan isterinya. Pada malam itu juga, ia tidak diganggu oleh setan, bahkan dapat tidur dengan nyenyak. Beberapa waktu kemudian, di rumah keluarga Chang diadakan kebaktian keluarga. Beliau menyatakan imannya kepada Yesus.

Pada masa ini juga berlangsung pembangunan gereja, setiap rekan kerja saling melengkapi. Pantang menyerah walau diterpa panas dan hujan, bahkan kadangkala sampai larut malam baru pulang ke rumah. Sungguh, kehangatan dalam melayani Tuhan tetap bertahan. Atas pertolongan Tuhan dan kerja sama setiap orang percaya, maka kami menyelenggarakan peletakan batu pertama untuk pembangunan gedung gereja pada tanggal 7 Januari 1950. Tanggal 7 Juli gedung gereja baru diresmikan pemakaiannya. Kemudian pada tanggal 25 Nopember 1951 peresmian pastori gereja.

Roh Kudus memenuhi gereja-Nya, dan menambahkan jumlah orang percaya dalam jemaat-Nya. Pelayanan Tuhan di berbagai sektor pun berkembang dengan pesat. Oleh perubahan kondisi di tahun 1970, putera-puteri orang Kristen menghadapi kesulitan untuk meneruskan pendidikan formal mereka. Maka itu, para pengurus gereja mengadakan rapat serta membentuk Yayasan pendidikan Kristen. Sungguh besar anugerah Tuhan, segala rencana ini berjalan dengan lancar, Sekolah Kristen Zion akhirnya didirikan pada tanggal 1 Agustus 1971. Jumlah murid ratusan orang.

Menyelesaikan Tugas Pelayanan bagi Yesus

Pendeta Tse Ying Kwang menggembalakan Gereja Kristen Makasaar selama 41 tahun. Beliau setia melayani dan juga membimbing serta mendorong para pemuda untuk masuk ke sekolah teologia. Pendeta Tse, seorang gembala sidang yang kreatif, fasih lidah dan berkarisma. Beliau mengerti musik dengan baik, sehingga menyusun sebuah “Buku Puji-pujian Zion.” Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga misi CFMU.

Pada tanggal 4 Mei 1972 subuh, Pdt. Tse tiba-tiba pingsan. Putera sulung Beliau yaitu Dr. Robert Sutjiadi (Tse Che Kwang) mengantar Beliau ke rumah sakit. Ternyata Beliau menderita komplikasi penyakit diabetes dan penyakit jantung. Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, Beliau nampak pulih kembali. Tidak terduga, pada tanggal 7 Mei malam jam 7:00 Beliau dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga.

Menjelang kembali ke sorga, Beliau masih sempat memberikan pesan kepada isteri dan putera-puterinya, agar mereka memberi perhatian atas pelayanan Tuhan, seumur hidup melayani Tuhan hingga akhir nanti. Sampai akhir hidupnya, Pendeta Tse Ying Kwang tidak pernah mengeluh kepada Tuhan, sebaliknya menjelang menghembuskan nafas terakhir pun masih sempat menyerahkan tugas pelayanan gereja kepada isteri dan putera-puterinya.

(Sumber: Robert Sutjiadi, Sejarah 70 Tahun CFMU (Chinese Foreign Missionary Union) 1929-1999. Surabaya: BKS-3 Sinode Ex-CFMU, 1999)