Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko

Apakah kecelakaan termasuk di dalam ketetapan Allah?  Kita sudah belajar bahwa Allah menetapkan segala sesuatu sejak kekekalan, termasuk dosa, penderitaan, dan peristiwa-peristiwa yang kebetulan.  Tetapi, apakah kecelakaan juga termasuk di dalam cakupan ketetapan Allah?  Kita percaya bahwa Allah adalah Allah yang baik.  Kecelakaan selalu membawa sesuatu yang tidak nyaman bagi kita, dan kita menyebut itu sesuatu yang tidak baik.  Jadi bagaimana bisa sesuatu yang tidak baik muncul dari Pribadi yang baik?  Itu sebabnya banyak orang yang benar-benar bergumul dengan pertanyaan ini.  Apalagi bagi kita yang pernah mengalami kecelakaan, atau terdampak akibat sebuah peristiwa kecelakaan yang terjadi, ini menjadi pertanyaan yang bersifat pribadi: Apakah ketetapan Allah mencakup kecelakaan?

Mari kita menjawab pertanyaan ini dengan melihat contoh dari Alkitab, dari seorang tokoh yang dikenal karena ketabahannya, dikenal karena penderitaannya yang begitu hebat, yaitu Ayub.  Dari Kitab Ayub pasal 1 dan 2, kita tahu bahwa Ayub adalah seorang yang benar; namun kemudian berbagai macam kecelakaan dan bencana terjadi di dalam hidupnya.  Alkitab juga mencatat, itu semua terjadi bukan karena Ayub telah berbuat dosa.  Jika Ayub seorang yang jahat, kafir, dan fasik; mungkin tidak terlalu sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa Ayub kehilangan harta bendanya, anak-anaknya, dan kesehatannya.  Tetapi yang menjadi pergumulan kita adalah Ayub seorang yang benar, saleh, dan berkenan hati Allah; tetapi dia mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan, dan itu terjadi secara beruntun di dalam hidupnya.

Ayub, dari seorang yang kaya raya, berlimpah segala sesuatu yang menjadi tanda dia diberkati oleh Allah, kemudian hidupnya berubah total.  Pada satu hari, perampok-perampok datang dan mengambil semua ternaknya.  Tidak lama berselang, ketika anak-anaknya sedang mengadakan pesta, tiba-tiba terjadi bencana alam, dan semua anaknya meninggal dunia.  Tidak lama kemudian, juga Ayub sendiri menghadapi penyakit kulit yang sangat mengenaskan.  Ayub bergumul dengan semuanya ini.  Tetapi yang menarik adalah pada saat di awal pergumulannya, Ayub mengatakan begini:  ” . . . TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (1:21)

Di bagian berikutnya Ayub menjawab istrinya, yang berkata:  “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9).  Kepada istrinya ini, Ayub menjelaskan:  “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).  Yang buruk dari siapa?  Menurut Ayub, yang buruk dari Allah.  Ini merupakan ungkapan yang luar biasa.  Di dalam pergumulannya, Ayub masih bisa mengatakan “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil”  Ayub tidak mengatakan Tuhan yang memberi, Iblis yang mengambil, walaupun Alkitab mengatakan dengan jelas, Iblis berpartisipasi di sana.  Iblis yang mencobai Ayub.  Ayub tidak mengatakan Tuhan yang memberi, tetapi perampok yang mengambil, walaupun kita tahu ceritanya, bahwa para perampoklah yang mengambil harta benda Ayub. 

Ayub tidak mengatakan bahwa Tuhan yang memberi, tetapi ada sebuah peristiwa kecelakaan yang terjadi sehingga tidak tahu siapa yang mengambil.  Ayub tidak berkata demikian.  Ayub mengatakan; “Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil”.  Artinya, sama seperti Allah berdaulat atas berkat, Dia juga berdaulat atas kehilangan.  Pada saat Allah memberkati Ayub, Allah yang sama juga menetapkan Ayub untuk menghadapi semuanya itu.  Walaupun sekali lagi kita tahu, Allah bukan penyebab kemalangan Ayub.  Iblislah yang berada di balik semua kemalangan Ayub.  Iblislah yang berada di balik semua kecelakaan yang menimpa Ayub.

Alkitab dengan jujur memberitahu kita, kecelakaan itu buruk dan tidak enak.  Kecelakaan itu tidak membawa kebaikan, dalam arti secara manusia.  Tetapi juga Alkitab mengajarkan kepada kita untuk berpikir dari perspektif yang lebih tinggi, yaitu perspektif Allah.  Apapun yang terjadi di dalam hidup kita, termasuk kecelakaan, kita tahu itu terjadi bukan di luar rencana Allah.  Di akhir pergumulannya, Ayub berkata: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayb 42:2).  Jadi ketika Ayub melihat kembali kecelakaan maupun bencana yang dia alami, dia mengatakan, itu semua rencana Allah. 

Allah mampu melakukan segala sesuatu; tidak ada rencana Tuhan yang gagal. Ayub pernah mengalami penderitaan yang paling hebat, kecelakaan yang paling sulit dijelaskan, tetapi Ayub tetap beriman kepada Allah, karena dia tahu Allah berdaulat atas segala sesuatu.  Allah mengontrol segala sesuatu.  Allah juga mengontrol peristiwa-peristiwa kecelakaan yang terjadi di dalam hidup kita.  Kita bisa meyakini, apapun yang terjadi, Allah sanggup bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, bahkan di tengah hal-hal yang terlihat tidak baik kita.  Kiranya ini menghibur kita, menguatkan iman kita, mengajak kita semakin bersandar kepada-Nya.  Tuhan memberkati kita.  Amin.