Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko

Hari ini kita akan membahas sebuah pertanyaan yang seringkali didiskusikan oleh banyak orang Kristen di kalangan tertentu, yaitu: Apakah rhema berbeda dengan logos?  Sebagaimana kita ketahui, seringkali di beberapa gereja, sebelum firman Tuhan disampaikan ada hamba Tuhan atau orang lain yang berdoa dan biasanya isi doanya seperti ini, “Tuhan, kiranya firman-Mu yang akan disampaikan, yaitu logos, menjadi rhema dalam kehidupan kami sehari-hari.”  Doa ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa logos dan rhema adalah dua hal yang berbeda.  Logos dipandang sebagai firman yang disampaikan;  sementara rhema, firman yang mengena di dalam hati seseorang.  Atau dengan kata lain, logos adalah firman secara umum, tetapi rhema adalah firman secara khusus yang menyentuh hati dan mengubah seseorang.  Pertanyaannya:  Apakah pembedaan antara logos dan rhema semacam ini adalah pembedaan yang bisa dipertanggungjawabkan?  Jawabannya adalah tidak!  Saya akan memberikan tiga alasan.

Pertama, karena kata “rhema” dan kata “logos” dipakai secara sinonim di dalam Alkitab.  Contoh yang paling jelas dapat kita lihat di dalam Kisah Para Rasul 10:44 ketika Petrus berkhotbah di depan Kornelius dan seisi rumahnya, maka dikatakan di dalam ayat itu:  Petrus menyampaikan rhema dan mereka mendengar logos.  Ini menarik sekali, karena biasanya orang-orang dari kalangan tertentu mengatakan bahwa yang disampaikan itu logos dan orang lain menerima sebagai rhema.  Tetapi di dalam ayat itu dikatakan bahwa Petrus menyampaikan rhema dan orang lain mendengar logos.  Dari ayat ini terlihat bahwa pembedaan antara rhema dan logos yang dilakukan oleh banyak gereja adalah pembedaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam kenyataannya malah kalau kita mencari kata “rhema” di dalam Alkitab, maka kita akan menemukan kata ini tidak selalu berarti “firman Tuhan”, bahkan tidak selalu bermakna positif.  Misalnya di dalam Matius 12:36 dikatakan bahwa setiap kata-kata yang sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman. Nah, “kata-kata” dalam ayat ini memakai kata “rhema”, padahal yang diucapkan itu adalah sia-sia.  Contoh lain, catatan Alkitab pada waktu Tuhan Yesus ditangkap dan diadili, dituliskan di sana ada banyak tuduhan palsu yang dimajukan.  Kata “tuduhan” di situ juga memakai kata “rhema”.  Ini adalah alasan pertama mengapa rhema dan logos tidak boleh dibedakan.

Kedua, karena membedakan “rhema” dan “logos” seolah-olah kita membatasi otoritas atau kuasa Firman pada manusia.  Kalau manusianya menerima, meresponi, tersentuh, dan mendapat berkat, barulah logos berubah menjadi rhema.  Jelas konsep semacam ini bertentangan dengan firman Tuhan.  Ketika firman Tuhan disampaikan, itu adalah firman Tuhan yang berkuasa, baik diterima atau tidak diterima, tetap firman Tuhan tidak mungkin kembali dengan sia-sia.  Firman Tuhan tidak dibatasi oleh respon manusia. 

Contoh yang paling jelas di dalam Yesaya 6, di mana Tuhan mengutus Yesaya untuk memberitakan firman Tuhan kepada orang-orang Israel, “dengarlah tetapi mengerti, jangan; lihatlah, tetapi jangan mengertinya.” Dengan kata lain sebetulnya Yesaya dipanggil untuk satu tugas yang sulit.  Dia harus memberitakan kebenaran, tetapi Allah tahu bahwa orang-orang Israel tidak akan menerima berita yang akan dibawa oleh Yesaya.  Tetapi apakah itu berarti firman yang disampaikan oleh Yesaya bukan firman yang berkuasa? Apakah firman Tuhan itu baru memiliki kuasa kalau diterima oleh orang lain?  Jelas tidak!  Firman Tuhan yang keluar dari mulut Allah, dari mulut para nabi, dan dari mulut para rasul adalah berkuasa, terlepas dari respon manusia.

Ketiga, karena pembedaan logos dan rhema mirip konsep teologi liberal dari Neo-Ortodoks atau Bartianisme.  Ada seorang tokoh bernama Karl Barth yang hidup dikelilingi oleh banyak orang liberal. Kemudian dia mencoba untuk sedikit lebih baik dari mereka.  Barth mengatakan bahwa Alkitab itu tidak bisa keliru; tetapi dia membagi Alkitab ke dalam dua bagian:  Alkitab yang tertulis itu bisa keliru, tetapi yang mengena di dalam hati kita tidak bisa keliru.  Jadi Barth membagi antara Alkitab yang tertulis dengan Alkitab yang mengena, yang menyapa kita secara langsung.  Pembedaan ini sangat mirip dengan pembedaan antara logos dan rhema, dan itu pembedaan yang dilakukan dalam konteks teologi liberal. 

Inilah tiga alasan mengapa kita menolak pembedaan antara rhema dan logos. Kiranya kita semua semakin mengerti hal ini dan menghargai firman Tuhan.  Apa pun yang keluar dari mulut Allah dan hamba-Nya atau apa yang keluar dari Alkitab adalah tetap firman Tuhan yang berkuasa, terlepas dari bagaimana orang meresponinya.  Saya mengajak kita semua untuk membuka hati dan meresponi setiap firman yang Tuhan berikan kepada kita.  Tuhan memberkati kita! Amin!