Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko
Hari ini kita akan membahas sebuah pertanyaan yang masih berkaitan dengan sakramen yaitu: Apakah sakramen menyelamatkan? Pertanyaan ini perlu untuk kita renungkan baik-baik karena kalau kita belajar dari sejarah gereja maka kita akan menemukan berbagai konsep yang keliru tentang sakramen. Pernah suatu waktu gereja mempunyai pandangan: Untuk memperoleh hidup yang kekal haruslah melalui sakramen atau ritual gerejawi tertentu atau praktik gerejawi tertentu. Sekarang pun tidaklah sukar untuk menemukan kesalahpahaman tentang sakramen. Ada yang menganggap roti dan anggur sebagai jimat untuk kesembuhan dan sebagainya. Itu sebabnya pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang penting untuk kita pikirkan. Apakah sakramen menyelamatkan? Jawabannya adalah: Tidak!
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa keselamatan adalah murni anugerah dari Tuhan. Dalam Efesus 2:8-9 dikatakan kita diselamatkan oleh anugerah Allah melalui iman. Itu bukan hasil usaha kita, itu bukan pekerjaan kita, jangan ada orang yang memegahkan diri. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa keselamatan ditentukan oleh manusia atau ditentukan oleh gereja atau diperoleh melalui ritual-ritual tertentu. Keselamatan itu terjadi karena Allah memberikan anugerah-Nya kepada kita dan kita menerimanya melalui iman kita. Semua ini bukan usaha manusia, bukan karya gereja, bukan ditentukan oleh ritual maupun praktik gerejawi.
Tetapi apakah ini menggambarkan bahwa sakramen tidak penting? Biasanya bagi orang tertentu yang menganggap bahwa sakramen tidak penting, mereka mengingat sebuah peristiwa yaitu pada waktu Tuhan Yesus di atas kayu salib dan dia berbicara kepada salah seorang penyamun di sana. Peristiwa ini dicatat di dalam Injil Lukas 23:43 ketika orang itu percaya kepada Tuhan Yesus dan ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Yesus menjawabnya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Berdasarkan itu, beberapa orang menganggap bahwa sakramen bukan sesuatu yang penting. Menurut Alkitab, pandangan ini jelas keliru. Ayat tadi hanya memberitahu kita bahwa sakramen tidak menyelamatkan. Sakramen memang tidak menyelamatkan tetapi bukan berarti tidak penting.
Buktinya, pada waktu Petrus berkhotbah di hari raya Pentakosta, banyak orang yang tersentuh hatinya dan bertanya: Apa yang harus kami lakukan? Petrus menjawab: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, . . .” (Kis 2:38). Kalau memang baptisan tidak penting maka Petrus hanya akan mendorong mereka untuk bertobat. Tetapi Petrus dengan tenang, tegas dan eksplisit, menambahkan bukan cuma “bertobatlah”, tetapi “berilah dirimu dibaptis”. Di dalam Kisah Rasul 19 dicatat ketika Paulus berjumpa dengan beberapa orang yang hanya menerima baptisan dari Yohanes, maka Paulus memberitakan Injil sekali lagi. Paulus menantang mereka untuk menerima baptisan Yesus Kristus sekali lagi. Jadi baptisan adalah sesuatu yang penting.
Di dalam 1Korintus 11, kita juga tahu bahwa sakramen Perjamuan Kudus adalah sesuatu yang penting. Paulus mengutip tradisi malam terakhir sebelum Tuhan Yesus ditangkap. Pada waktu itu Tuhan Yesus mengajarkan “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”. Ini merupakan perintah dari Tuhan Yesus sendiri supaya kita melakukan sakramen Perjamuan Kudus. Juga hal itu merupakan perintah Tuhan Yesus sendiri supaya kita melakukan sakramen Baptisan di dalam Matius pasal 28:19-20 “ . . . .baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu . . .”. Jadi sakramen merupakan perintah langsung dari Tuhan Yesus baik sakramen Baptisan maupun sakramen Perjamuan Kudus, keduanya sama-sama merupakan perintah dari Tuhan Yesus. Khususnya sakramen Perjamuan Kudus, Tuhan Yesus juga mengatakan “tiap kali kamu melakukannya, menjadi peringatan akan Aku”. Hal ini ditafsirkan banyak gereja bahwa kita boleh melakukan sakramen Perjamuan Kudus sesering mungkin dan itulah yang dilakukan oleh gereja mula-mula. Di dalam Kisah Rasul 2:42-43 dicatat setelah orang banyak itu bertobat, maka yang menjadi karakteristik dan kebiasaan gereja mula-mula adalah mereka berkumpul bersama-sama, bertekun dalam pengajaran para rasul dan mereka memecahkan roti bersama-sama setiap hari. Jadi mereka melakukan sakramen setiap hari.
Itulah juga yang ingin diterapkan oleh John Calvin ketika ia menjadi hamba Tuhan/gembala di kota Jenewa. Calvin ingin menerapkan Perjamuan Kudus seminggu sekali. Tapi pemerintah kota tidak menyetujui usul dari John Calvin sehingga Calvin harus sedikit mengalah dan menerapkan sakramen Perjamuan Kudus itu sebulan satu kali. Ini semua menunjukkan bahwa sakramen merupakan sesuatu yang penting dan tidak bisa diabaikan. Memang sakramen tidak menyelamatkan tetapi bukan berarti sakramen tidak penting. Barangsiapa percaya Yesus dengan sungguh-sungguh dan menjadi murid-Nya yang sejati, maka dia perlu memberi diri dibaptis sebagai tanda bahwa dia mengikut Yesus dan siap memberikan segalanya bagi Yesus. Dia juga perlu sering mengikuti sakramen Perjamuan Kudus untuk terus disegarkan dan diingatkan tentang kematian Tuhan.
Related posts