Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko
Hari ini kita akan membahas tentang perkataan yang tidak benar yaitu berdusta. Perintah yang kesembilan di dalam Dasa Titah berbunyi “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”. Perintah ini bukan hanya ada di Perjanjian Lama tetapi juga ada di Perjanjian Baru. Di dalam Efesus 4:25 Rasul Paulus mengaitkannya dengan status kita sebagai ciptaan yang baru di dalam Kristus. Sebagai orang yang ada di dalam Kristus dan sebagai ciptaan yang baru hendaklah kita mengucapkan hal-hal yang benar. Jangan mengucapkan hal-hal yang dusta terhadap sesama kita apalagi sebagai sesama tubuh Kristus. Larangan untuk berdusta muncul secara konsisten di dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru. Apa yang dimaksud dengan berdusta?
Berdusta dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, ketidakselarasan antara kenyataan dan ucapan kita. Jadi antara ucapan kita dan kenyataan tidak ada keselarasan. Kita mengucapkan A tetapi dalam kenyataan ternyata B. Bukan karena kita tidak tahu apa yang ada di dalam kenyataan, kita justru tahu, tetapi kita sengaja mengucapkan sesuatu yang berkontradiksi dengan kenyataan. Itu artinya berdusta, yaitu ada ketidakselarasan antara ucapan dan kenyataan.
Kedua, ketidakselarasan antara ucapan dan maksud hati. Kadangkala yang kita ucapkan tidak ada kaitannya dengan kenyataan, dalam arti yang menentukan adalah kenyataan di dalam hati kita. Kita mengucapkan sesuatu mungkin benar dan mungkin juga salah. Tapi apakah benar kita memaksudkanya seperti itu di dalam hati kita? Kadang kala ucapan kita A tetapi maksud hati kita berbeda. Itulah yang disebut dengan dusta. Jadi dusta harus dipahami di dalam dua hal ini, yaitu ketidakselarasan antara ucapan dengan kenyataan dan ketidakselarasan antara ucapan dengan maksud hati.
Kalau kita membaca dengan teliti kesepuluh perintah Allah, maka kita akan menemukan bahwa bersaksi dusta di sana, konteksnya adalah pengadilan. Itu sebabnya penerjemah Lembaga Akitab Indonesia berhati-hati memberi terjemahan “Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu.” Ada kata “saksi” di sana. Perintah ini terutama diletakkan pada konteks legal pengadilan, bukan hanya sekadar berdusta setiap hari atau di dalam kehidupan sehari-hari atau di dalam aktivitas-aktivitas yang sepele. Tetapi ini berbicara tentang dusta di dalam pengadilan.
Bagi orang-orang kuno pada waktu itu kesaksian di dalam pengadilan memegang peranan yang sangat penting. Pada zaman itu hampir selalu ketika seseorang menuntut orang lain, bukti yang tersedia seringkali hanya dari kesaksian orang-orang. Bisa jadi ada orang-orang tertentu yang punya maksud buruk atau ingin menjatuhkan orang lain lalu berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain itu. Mereka mengucapkan saksi yang dusta. Mereka bisa saja berkomplot untuk mengarang sebuah cerita sehingga orang yang ditargetkan untuk diserang akan menghadapi persoalan yang besar. Mengucapkan saksi di dalam ruang pengadilan merupakan hal yang sangat penting di dalam budaya kuno, karena itu seringkali menjadi satu-satunya jalan untuk menentukan sebuah kasus. Bukan hanya menentukan sebuah kasus tetapi juga apa yang diucapkan oleh para saksi menentukan hidup orang-orang yang sedang berperkara.
Ini bukan sekadar dusta yang biasa tapi dusta yang menyangkut nasib orang lain. Karena itu Alkitab memberi penekanan dan perhatian yang khusus terhadap hal ini. Mungkin di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak pernah berada di ruang pengadilan. Tetapi sadarkah kita bahwa kadangkala apa yang kita ucapkan -yang tidak benar atau dusta yang keluar dari mulut kita- seringkali bisa membunuh karakter orang atau yang biasa disebut dengan fitnah. Hal itu bisa membunuh karakter orang, bisa mencemarkan reputasi orang dan seringkali bisa menimbulkan persoalan-persoalan yang begitu serius. Ada begitu banyak persoalan muncul karena kita tidak menjaga mulut kita. Kita tidak memiliki komitmen untuk menyelaraskan antara ucapan kita dengan kenyataan dan ucapan dengan maksud hati kita.
Perintah ini benar-benar penting untuk kita perhatikan. Kita sudah ditebus oleh Kristus dan menjadi ciptaan baru, seharusnya kita hidup di dalam kebenaran dan mengucapkan kebenaran. Kita berasal dari kebenaran yaitu Yesus Kristus sendiri. Di dalam diri-Nya tidak ada dusta karena Dia adalah Sang Kebenaran. Siapa saja yang mengaku berasal dari Kristus maka orang itu wajib untuk hidup di dalam kebenaran, mengucapkan kebenaran dan menjaga hatinya supaya terus menerus benar di hadapan Allah. Pertanyaan bagi kita adalah seberapa seriuskah kita menjaga ucapan bibir kita sehingga tidak ada dusta yang akan muncul dari mulut kita? Tuhan memberkati kita!
Related posts