Oleh: Pdt. Rickstofen Ricky Palendeng

“Berhenti memakai narkoba itu tidak mudah, seperti kita mau ganti dengan ketoprak. Kalau bisa kayak gitu, enak banget. Soalnya kalau sudah jadi pemakai, hati dan pikiran kita akan berusaha untuk mencoba mencari. kita akan merasa ‘lapar’ yang sangat kuat . . . Kalau yang nawarin ada, pasti (bisa tergoda). Makanya hindari lingkungan itu, karena burung yang sejenis terbang ke tempat tujuan yang sama.” Demikian penuturan Roy Marten ketika diwawancara pada tahun 2014. Seperti yang kita ketahui bahwa artis yang satu ini pernah dua kali tertangkap terkait narkoba, di Februari 2006 dan November 2007.

Pernyataan Roy Marten menunjukkan sangat sulit untuk lepas dari godaan narkoba. Suatu pergumulan yang mungkin tidak akan pernah berhenti seumur hidupnya. Pada saat diwawancara, Roy mengatakan bahwa sudah tujuh tahun ia bisa mengendalikan diri untuk tidak menggunakan narkoba. Itu bukan berarti pergumulannya dengan barang haram tersebut telah selesai. Pergumulan untuk terus menolak bisikan narkoba akan terus ada.

Cengkeraman Dosa melumpuhkan kita.

Apa yang dialami oleh Roy Marten sebenarnya menjadi gambaran bagi kita tentang realitas dosa dan godaannya. Tidak mudah bagi orang percaya untuk mematikan natur dosa dalam dirinya. Itu sebabnya dalam Galatia 5:16-18 Paulus mengingatkan kita agar hidup oleh Roh. Setiap saat kita diminta untuk mengikuti kehendak Roh dan tidak menuruti keinginan daging. Paulus menyadari hal ini karena ia sendiri mengalaminya. Kita bisa melihatnya lewat perkataanya dalam bacaan Firman kita hari ini.

Penggunaan kata “aku” dalam ayat ini ditulis dalam present tense, menunjukkan bahwa pergumulannya ini ia alami saat sedang menjalani kehidupan sebagai murid Kristus. Bukankah ini yang kita alami juga? Kita sadar bahwa kita telah menjadi murid Kristus, namun ada kalanya – atau sering – jatuh bangun dalam dosa. Kesadaran akan hal ini juga yang membawa Martin Luther mencetuskan pernyataan Simul justus et peccator (setiap orang Kristen itu berada dalam dua kondisi benar dan berdosa pada saat yang sama). Kita sudah dibenarkan oleh Kristus, namun kita juga masih terus bergumul dengan dosa-dosa kita.

Ayat 21 merupakan kesimpulan Paulus setelah ia menjelaskan kuatnya kuasa dosa atas dirinya. Kris Lungaard dalam bukunya, The Enemy Within (Musuh Dalam Diriku), melihat empat fakta terkait kuasa dosa berdasarkan ayat ini:

Fakta pertama, dosa yang ada dalam diri kita adalah sebuah “hukum”, yang menunjuk pada “dosa yang diam di dalam aku” (ay. 20,23). Dosa ini bagaikan hukum gravitasi yang akan memaksa kita untuk tunduk pada perintahnya. Itu sebabnya seringkali kita jatuh dalam keinginan-keinginan yang berdosa.

Fakta kedua, kita menemukan hukum dosa ini dalam diri kita. Apa yang Anda rasakan ketika dokter berkata “Virus HIV ada dalam diri Anda”? Dunia seakan-akan menjadi runtuh bukan? Sama halnya ketika kita menyadari bahwa dosa itu ada di dalam diri kita. Bukan di luar sana, tapi dalam diri kita. Apakah ini berita yang baik?F

Fakta ketiga, kita menemukan hukum dosa ini pada saat kita berada dalam kondisi yang terbaik. Paulus membandingkan kesadarannya akan dosa ini justru saat ia ingin berbuat baik (ay 15, 19). Bukankah kita sering dilemahkan oleh dosa ketika kita siap melayani Tuhan?

Fakta keempat, hukum dosa ini tidak pernah berhenti bekerja. Sadarkah kita bahwa kita berada dalam peperangan melawan kedagingan kita setiap saat? Hukum dosa itu akan terus berusaha menghancurkan kita. Siapkah kita?

Dengan kesadaran ini, Paulus semakin mempertegas pergumulannya, “Aku menjadi tawanan dosa” (ay. 23). Suatu kesadaran yang lahir dari ketidakmampuan diri untuk bergumul dalam daya tarik dosa. Sebuah seruan memohon pertolongan akhirnya terucap, “Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (ay. 24)

Tangan Tuhan membebaskan kita.

Hanya tangan Tuhan yang sanggup membebaskan kita dari cengkeraman dosa. Itu sebabnya suatu ungkapan syukur lahir dari hati Paulus ketika ia menemukan harapan dalam Yesus, “Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (ay. 25). Pembebasan hanya bisa dilakukan oleh Yesus Kristus. Nama “Yesus” mengandung arti “Allah yang membebaskan.” Dia yang membebaskan tentunya telah mengalami kemenangan-kemenangan dalam hidup-Nya: (1) Dia menang atas godaan iblis di padang gurun (Mat.4); (2) Dia menang melewati tantangan-tantangan dalam pelayanan-Nya; (3) Dia menang atas pergumulan di taman Getsemani; (4) Dia menang atas keegoisan manusia saat di atas kayu salib dengan berkata “Ampunilah mereka”; (5) dan Dia menang atas maut lewat Kebangkitan-Nya!

Kebangkitan Yesus menjadi puncak kemenangan-Nya atas maut. Di sinilah yang menjadi letak kekuatan iman Kristen. Para Penulis Injil bisa memilih untuk menceritakan kisah kelahiran Yesus atau tidak (hanya Matius dan Lukas yang menceritakannya), namun ketika berbicara soal kebangkitan, semua penulis Injil sama-sama menceritakan bahwa Yesus benar-benar bangkit dari kematian. Itulah sebabnya Paulus menekankan bahwa jatuh bangunnya iman Kristen berada pada kebangkitan Kristus. Ia mengatakan “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1Korintus 15:17).

Kebangkitan Kristus memberi kepastian bagi kita bahwa kelemahan-kelemahan kita karena sering tunduk pada keinginan dosa, mampu kita kendalikan dan kita arahkan pada ketaatan dalam Kristus. Dan kekuatan ini berasal dari Tuhan dan bukan dari diri kita sendiri. Itu sebabnya, jika kita bisa menang atas pertempuran melawan kedagingan setiap harinya, percayalah itu karena Tuhan yang memampukan.

Ayat 26 mengindikasikan bahwa perang dalam diri akan terus berlanjut. Pergulatan melawan kedagingan belum akan berhenti. Pertempuran untuk berusaha taat kepada Kristus akan terus terjadi dalam segala area hidup kita: keluarga, bisnis, pelayanan, sosial, maupun karakter. Namun demikian ingatlah, bahwa kebangkitan Kristus telah membawa harapan bagi kita. Maut telah dikalahkan, sengatnya telah dihancurkan (1Kor. 15:55). Biarlah kuasa-Nya yang bekerja di dalam dan melalui kita. Serahkanlah segala pertempuran hidup kita kepada-Nya. Ingat “. . . berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam prsekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Kor. 15:58).