Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko

Salah satu tanda gereja yang sejati adalah pelaksanaan sakramen. Hari ini kita akan membahas tentang sakramen secara khusus. Apakah yang dimaksud dengan sakramen? Istilah ini pasti tidak asing di telinga kita. Tetapi apakah artinya juga tidak asing bagi kita? Istilah sakramen berasal dari bahasa Latin: “sacramentum”, yang berarti “yang tersembunyi”. Sakramen berbicara tentang makna dan esensi dari apa yang disimbolkan. Sakramen berbicara tentang simbol/manifestasi, namun yang lebih dipentingkan bukanlah simbolnya melainkan apa yang disimbolkan di sana. Di dalam dunia teologi saya bisa mendefinisikan sakramen sebagai berikut: Sakramen merupakan peraturan kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus, yang di dalamnya Kristus dan manfaat-manfaat rohani dalam perjanjian yang baru ditampilkan, dimeteraikan dan diaplikasikan kepada orang percaya melalui tanda-tanda yang terlihat.

Peraturan-peraturan yang berasal dari perintah-perintah Tuhan Yesus sendiri. Artinya, sakramen bukan peraturan dari manusia tetapi peraturan dari Tuhan Yesus Kristus. Apa yang Dia perintahkan secara eksplisit, itulah yang nantinya menjadi sakramen. Walaupun tidak semua yang Dia perintahkan adalah sakramen, tetapi sakramen pasti diperintahkan secara langsung oleh Yesus Kristus.

Kristus dan manfaat-manfaat rohani di dalam perjanjian ditampilkan/terlihat dalam pelaksanaan sakramen. Manfaat-manfaat rohani itu bukan hanya ditampilkan tetapi juga diteguhkan, dimeteraikan dan diaplikasikan kepada orang-orang yang percaya. Jadi sakramen bukan hanya sebuah ritual yang hanya menampilkan sesuatu.

Walaupun yang ditampilkan Kristus atau manfaat-manfaat rohani di dalamnya tetapi sakramen bukan sekadar menampilkan sesuatu, tetapi juga memateraikan dan menerapkan manfaat-manfaat itu kepada umat perjanjian yang baru.

Hal ini tampak sangat jelas di dalam 1Korintus 11, ketika Paulus mengingatkan jemaat Korintus tentang Perjamuan Terakhir yang dilakukan Tuhan Yesus bersama murid-murid-Nya. Paulus perlu mengingatkan mereka tentang hal ini karena jemaat di Korintus melakukan Perjamuan Kudus dengan cara yang keliru (lihat 1Kor 11). Mereka tetap menggunakan anggur dan roti tetapi dengan konsep yang salah dan dengan cara yang keliru. Mereka makan sampai kenyang bahkan mabuk. Mereka makan tanpa mengindahkan orang-orang lain yang miskin, yang tidak punya roti dan anggur untuk dibawa ke jemaat. Orang-orang kaya tidak mempedulikan orang-orang yang miskin sehingga Paulus perlu mengingatkan mereka tentang apa sebenarnya sakramen itu. Bukankah sakramen Perjamuan Kudus berasal dari Perjamuan Terakhir, ketika Tuhan Yesus memberikan tubuh-Nya untuk orang-orang percaya? Itulah yang seharusnya dilakukan oleh jemaat di Korintus, memberikan apa yang mereka miliki untuk orang lain.

Bukankah di dalam Perjamuan Terakhir itu Tuhan Yesus mengambil cawan membagikan kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Cawan ini adalah perjanjian yang baru yang dimateraikan oleh darah-Ku?” Di dalam sakramen, mereka semua diikat menjadi satu umat perjanjian. Jadi bagaimana bisa orang-orang kaya tidak mempedulikan orang-orang miskin? Bagaimana bisa umat dari satu perjanjian tidak saling memperhatikan dan menolong? Dengan kata lain, walaupun jemaat Korintus melakukan ritual sakramen Perjamuan Kudus, tapi maknanya tidak ada di sana, juga caranya bertabrakan dengan makna yang benar.

Jadi kita perlu memahami dengan baik bahwa sakramen adalah perintah Tuhan sendiri yang di dalamnya Kristus dan manfaat-manfaat rohani ditampilkan, dimeteraikan dan diaplikasikan. Sehubungan dengan hal ini kita perlu memperhatikan setidaknya dua hal.

Pertama, bahwa sakramen bukanlah anugerah yang baru, melainkan sarana untuk meneguhkan anugerah Allah yaitu anugerah keselamatan. Sakramen itu bukan segala-galanya. Hal yang dipentingkan adalah apa yang disimbolkan di dalam sakramen. Hal yang dipentingkan adalah anugerah Allah di dalam sakramen. Sakramen hanyalah simbol. Sangatlah memprihatinkan kalau ada gereja-gereja tertentu yang menganggap roti dan anggur itu sebagai “jimat” untuk kesembuhan; juga ketika roti dan anggur itu dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai mistis di dalamnya. Ini jelas bertabrakan dengan firman Tuhan karena yang dipentingkan dalam Perjamuan Kudus seharusnya bukan ritualnya, bukan wujudnya atau manifestasinya tetapi makna di dalamnya, yaitu ada anugerah Allah yang diterima dan dimateraikan di dalam Kristus Yesus.

Kedua, kesalahan di banyak gereja yang menceraikan sakramen dengan pemberitaan firman Tuhan. Banyak gereja hanya memandang roti dan anggur itu sebagai sesuatu yang “terpenting”. Banyak gereja yang memandang baptisan (apalagi di sungai Yordan) memiliki kuasa pada dirinya sendiri. Ini sesuatu yang keliru. Sakramen tidak bisa dipisahkan dari firman Tuhan. Sakramen harus didasarkan pada pemberitaan firman. Sakramen tidak akan ada artinya tanpa firman Tuhan. Karena itu haruslah kita melakukan sakramen dengan cara yang benar sesuai dengan firman Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati.