Oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko
Hari ini kita akan membahas tentang apa arti memuliakan Allah. Di dalam rumusan Katekismus Westminster, pertanyaan yang pertama yang diajukan: Apakah tujuan utama hidup manusia? Di situ jawabannya adalah: untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Apa arti memuliakan Allah? Mari kita mulai dengan apa yang bukan dimaksud dengan memuliakan Allah?
Memuliakan Allah bukan berarti membuat Allah lebih mulia. Memuliakan Allah bukan berarti bahwa Allah bergantung kepada ciptaan atau bahwa kemuliaan-Nya ditentukan oleh seberapa banyak ciptaan yang mau memuliakan Dia. Tentu saja konsepnya bukan seperti itu. Di dalam 1Tawarikh 16:29a dikatakan, “Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya.” Jadi kita memberikan kemuliaan yang memang adalah milik Allah. Memuliakan Allah bukan berarti membuat Dia menjadi lebih mulia.
Di akhir Surat Roma pasal ke-11, Paulus memberikan pertanyaan retoris dengan berkata, “Siapa yang telah memberikan sesuatu kepada Allah, sehingga Allah harus menggantikannya? Jawabannya jelas: Tidak ada! Karena tidak satu mahkluk pun yang memberi sesuatu kepada Allah, di mana Allah harus berhutang kepada makhluk itu. Sebaliknya, segala sesuatu berhutang kepada Allah. Jadi memuliakan Allah bukan berarti membuat Allah lebih mulia.
Memuliakan Allah juga bukan berarti terbatas hanya pada hal ibadah/kebaktian. Memuliakan bukan hanya memuji Dia, bukan hanya memberi persembahan, juga bukan hanya mendengar firman dalam ibadah. Betul bahwa ibadah adalah salah satu cara memuliakan Allah, tetapi memuliakan Allah tidak bisa dibatasi hanya pada ibadah.
Jika demikian, apa yang dimaksud dengan memuliakan Allah? Alkitab mengajarkan enam hal bagaimana memuliakan Allah. Kali ini kita akan belajar dua diantaranya. Pertama, memuliakan Allah berarti puas dengan Dia, menikmati Dia. Bukan kebetulan kalau perumus Katekismus Wesminster menghubungkan memuliakan Allah dengan menikmati Allah. Orang-orang yang menikmati Allah adalah orang-orang yang memuliakan Allah. Orang yang memuliakan Allah, juga akan menikmati Dia.
Dalam Mazmur 73:25, Asaf mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Lalu di ayat 26 Asaf menegaskan, “Sekalipun hatiku dan dagingku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Ketika Asaf merasa puas bersama dengan Allah, dan dengan memiliki Allah (bukan terutama karena berkat-berkat-Nya), maka Asaf telah memuliakan Allah.
Mazmur Asaf ini menunjukkan pengakuan Asaf bahwa Allah lebih mulia daripada yang lain. Asaf mengakui bahwa Allah lebih berharga dan lebih bernilai dari apapun juga yang ada di dalam dunia ini, bahkan lebih bernilai daripada dirinya sendiri. Itu sebabnya dia berkata, “Sekalipun hatiku dan dagingku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Orang-orang yang puas dengan Allah, mereka memuliakan Allah. Mereka seolah-olah ingin memberitahu orang lain bahwa Allah sajalah yang paling berharga di dalam hidupnya. Dengan demikian mereka telah memberi kemuliaan kepada Allah.
Kedua, memuliakan Allah berarti mengucap syukur kepada Allah. Di dalam Roma 1:21 Paulus menyinggung tentang orang-orang berdosa, yang menyembah berhala, dan hidup di dalam dosa. Di sana Paulus mengatakan bahwa mereka tidak memuliakan Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Jadi Paulus mengaitkan antara memuliakan Allah dengan mengucap syukur kepada Allah.
Hal yang sama juga bisa kita lihat di dalam Lukas 17 pada saat Tuhan Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Tuhan Yesus menyuruh mereka memperlihatkan diri kepada imam, dan di tengah perjalanan itu mereka semua telah sembuh. Namun dari antara sepuluh orang tersebut, hanya satu orang yang kembali kepada Tuhan Yesus dan mengucap syukur. Ketika orang ini mengucap syukur kepada-Nya, Tuhan Yesus berkata, “Di mana yang lain? Apakah hanya orang ini saja yang memuliakan Allah?” Hal ini menunjukkan bahwa mengucap syukur identik dengan memuliakan Allah.
Jika kita ingin memuliakan Allah, mengucap syukurlah kepada-Nya. Ibrani 13:15 berkata, “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya.” Ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya adalah ucapan syukur kita kepada Allah. Mengucap syukur kepada Allah adalah cara kita untuk memuliakan Dia. Apakah kita sudah bersyukur kepada Tuhan untuk apapun keadaan kita, terutama karena kita sudah memiliki Allah? Atau masihkah hidup kita dipenuhi dengan keluhan?
Jika kita ingin memuliakan Allah, maka kita harus mengingat dua hal: Menikmati Dia/puas dengan Dia dan mengucap syukur kepada-Nya. Apakah kita sudah memuliakan Allah dalam hidup kita? Tuhan memberkati kita.
Related posts